Rekonstruksi Sejarah Nasional, Edisi Revisi Abad Ini

Rekonstruksi Sejarah Nasional, Edisi Revisi Abad Ini

Ketika negara mengambil inisiatif untuk menulis ulang sejarah, sejatinya ia sedang menyusun ulang ingatan kolektif. Langkah Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dalam menggagas program penulisan ulang sejarah nasional menjadi babak baru dalam upaya rekonstruksi identitas bangsa. Dalam kerangka ini, pandangan Kuntowijoyo menjadi penting untuk dikemukakan.

Dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995) karya Kuntowijoyo, ia menegaskan bahwa sejarah bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi merekonstruksi masa lalu itu secara ilmiah untuk menjawab pertanyaan masa kini. Sejarah, menurutnya, harus mampu menjelaskan proses bukan hanya menceritakan peristiwa. Oleh karena itu, menulis ulang sejarah berarti merumuskan ulang makna masa lalu agar relevan dan fungsional bagi pembentukan kesadaran kebangsaan masa kini.

Sejalan dengan E.H. Carr dalam What Is History? (1961), “Sejarah adalah proses berkesinambungan interaksi antara sejarawan dan fakta.” Artinya, tidak ada sejarah yang netral sepenuhnya yang ada adalah upaya terus-menerus memahami masa lalu dari kaca mata masa kini. Sejarah adalah tafsir, dan dalam setiap tafsir terselip nilai, kepentingan, dan arah ideologis tertentu.

Dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah bukan hanya kumpulan kronologi peristiwa, melainkan sebuah konstruksi intelektual yang harus dianalisis melalui berbagai dimensi sosial. Ia menyatakan bahwa sejarah harus mampu menjelaskan proses-proses sosial yang melatarbelakangi peristiwa, bukan sekadar mencatat fakta permukaan. Pandangan ini menjadi sangat relevan ketika kita berbicara tentang urgensi rekonstruksi sejarah nasional edisi revisi abad ini.

Sejarah nasional Indonesia tidak bisa lagi hanya berpijak pada narasi besar yang bersifat politis, sentralistis, dan elitis, tetapi harus dibangun ulang dengan pendekatan struktural yang kritis, menyeluruh, dan membuka ruang bagi interpretasi alternatif. Sebagaimana Sartono tekankan, sejarah harus ditulis tidak hanya untuk mengingat masa lalu, tetapi untuk memahami struktur masyarakat yang membentuknya dan dari situlah lahir kesadaran baru sebagai bangsa.

sumber : tokopedia.com

Dekolonisasi Narasi

Selama bertahun-tahun, narasi sejarah Indonesia banyak dikonstruksi melalui kacamata dominasi kekuasaan baik kolonial maupun rezim pasca kemerdekaan. Upaya menulis ulang sejarah bisa menjadi jalan dekolonisasi epistemik. Gayatri Spivak dalam Can the Subaltern Speak? (1988) mengingatkan bahwa suara kelompok pinggiran seringkali tak terdengar dalam arus besar historiografi resmi. Oleh karena itu, inisiatif ini berpeluang memberi ruang kepada narasi-narasi lokal, tradisi lisan, dan tokoh-tokoh nonelitis yang selama ini terabaikan.

Misalnya, sejarah gerakan perempuan, perlawanan lokal, hingga peran komunitas adat dalam membangun budaya damai, kerap tak mendapat porsi yang memadai dalam buku-buku pelajaran sejarah. Penulisan ulang bisa menjadi sarana koreksi dan afirmasi.

Dilema Politisasi

Namun demikian, program ini tidak bebas dari risiko. Ketika negara menjadi aktor utama dalam penyusunan narasi sejarah, maka intervensi ideologis nyaris tak terelakkan. Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980) menyatakan bahwa pengetahuan termasuk sejarah adalah produk dari relasi kuasa. Narasi yang dibangun bukan hanya soal apa yang ingin diingat, tetapi juga apa yang sengaja dilupakan.

Tanpa pengawasan akademik yang ketat, penulisan ulang sejarah bisa berubah menjadi alat pembenaran politik atau bahkan legitimasi kekuasaan. Oleh sebab itu, partisipasi sejarawan independen, lembaga akademik, dan masyarakat sipil menjadi penting untuk menjaga integritasnya.

Metodologi dan Akuntabilitas

Kredibilitas sejarah tidak hanya terletak pada isi narasi, tetapi juga pada cara ia ditulis. Leopold von Ranke menekankan pentingnya penyajian fakta sebagaimana terjadinya (wie es eigentlich gewesen), melalui dokumentasi primer dan kritik sumber yang ketat.

Dalam konteks Indonesia, Kuntowijoyo kembali menegaskan bahwa sejarah harus diangkat dari tingkat “cerita” ke tingkat “analisis ilmiah.” Ia menyerukan agar sejarawan membangun struktur berpikir yang berakar pada teori, metode, dan logika ilmiah. Pendekatan struktural yang ia tawarkan melihat sejarah sebagai hasil interaksi antara individu dan sistem sosial, ekonomi, politik menjadi landasan penting dalam membangun historiografi baru yang tidak semata-mata biografis atau heroik.

Tanpa penerapan prinsip-prinsip ilmiah ini, program penulisan ulang sejarah berpotensi terjebak dalam romantisme masa lalu yang tidak produktif. Maka, perlu pelatihan metodologi, penguatan institusi arsip, serta kolaborasi antarperguruan tinggi, komunitas sejarah lokal, dan pemerintah.

Kesadaran Historis Baru

Di sisi lain, inisiatif ini berpotensi membangkitkan kesadaran historis generasi muda yang selama ini merasa jauh dari sejarah bangsanya sendiri. Jika dilakukan dengan benar, sejarah bisa menjadi sumber inspirasi, bukan sekadar hafalan nama dan tanggal. Narasi yang hidup, kontekstual, dan berakar pada pengalaman lokal akan membuat sejarah lebih relevan bagi publik.

Program penulisan sejarah ulang tidak bisa hanya dilihat sebagai proyek budaya semata, melainkan sebagai praktik politik ingatan yang kompleks. Ia dapat menjadi jembatan rekonsiliasi atau justru alat pengaburan kebenaran. Karena itu, perlu kehati-hatian, transparansi, dan kolaborasi dalam setiap tahapnya.

Sebagaimana kata Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983), “Bangsa-bangsa adalah komunitas yang dibayangkan.” Maka sejarah sebagai fondasi imajinasi itu harus ditulis tidak hanya oleh penguasa, tetapi bersama rakyatnya.

https://nextgen-z.com/rekonstruksi-sejarah-nasional-edisi-revisi-abad-ini

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *