Bride Price : Legitimasi Kekerasan Berkedok Tradisi

Bride Price : Legitimasi Kekerasan Berkedok Tradisi

Emansipasi perempuan dan segala hal yang berkaitan dengan kesetaraan gender, telah banyak dikampanyekan dan diimplementasikan di berbagai negara. Oleh karenanya sebagai salah satu upaya untuk memanifestasikan kesetaraan tersebut, dibentuklah beberapa hukum internasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan. Salah satunya ialah CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

Konvensi ini dibentuk pada tahun 1979, dengan maksud menghapuskan diskriminasi, marginalisasi, dan juga menjunjung tinggi prinsip kesetaraan serta perlindungan. Akan tetapi, meskipun konvensi ini telah diratifikasi oleh kurang lebih 189 negara, substansi dari perjanjian tersebut belum dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Masih ada sebagian negara maupun sekelompok orang yang belum memberikan atensi terhadap pemenuhan hak-hak perempuan.

Fenomena Bride Price di Sudan Selatan

Salah satu negara yang memiliki problematika terkait dengan isu diskriminasi dan segregasi perempuan adalah Sudan Selatan. Negara yang terletak di Afrika Timur ini, memiliki konflik berkepanjangan dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Diketahui, negara ini telah melanggar ketentuan Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan penduduk sipil saat perang, termasuk diantaranya pasal kekerasan seksual dan diskriminasi.

Berdasarkan data PBB, konflik ini mencakup dehumanisasi, diskriminasi, dan bahkan tercatat bahwa pada 6 bulan pertama di tahun 2018, telah terjadi 2.300 kekerasan seksual di Sudan Selatan. Adapun kekerasan seksual tersebut meliputi pemerkosaan, pencabulan, pemukulan, pencambukan, perbudakan seksual, dan aborsi paksa.

(Seorang gadis remaja menikah dengan harga yang memecahkan rekor: ‘kompetisi pernikahan’ yang memecah belah sebuah negara) sumber : theguardian.com

Masalah ini menjadi sulit ditanggulangi karena banyaknya faktor, salah satunya yaitu tradisi patriarki yang telah lama mengakar. Hal ini dapat dilihat dari masih maraknya tradisi Bride Price atau “Harga Pengantin” yang diterapkan masyarakat Sudan Selatan.

Tradisi ini mengacu pada pemberian mahar yang dibayar dalam bentuk ternak, uang tunai, dan kadang barang mewah. Adapun besaran ternak yang diberikan sangat variatif, tergantung pada latar belakang perempuan. Bagi mereka yang dianggap memiliki status tinggi, maharnya mampu menembus angka 200 ekor sapi atau lebih.

Hal ini menjadi dilematis bagi perempuan, karena pada kasus ini eksistensi mahar bukan bertujuan untuk membuat mereka terlihat dihargai dan dihormati. Melainkan sebagai komoditas dengan nilai tukar tinggi, yang dapat difungsikan untuk memperbanyak aset keluarga.

Adanya mahar ini juga menciptakan peluang risiko terjadinya rumah tangga dengan tingkat kekerasan tinggi. Sebagai konsekuensi, karena laki-laki beranggapan telah “membeli” atau memiliki perempuan seutuhnya, sehingga dapat leluasa melakukan apapun, termasuk diantaranya kekerasan.

Imbas dari Budaya Borok yang Dilestarikan

Masih langgengnya praktik Harga Pernikahan tersebut juga menjadi salah satu alasan meroketnya angka kematian ibu hamil dan melahirkan. Hal tersebut dilatari oleh beberapa alasan, diantaranya adalah kurangnya fasilitas medis dan higienitas, serta kehamilan yang berisiko karena tubuh ibu belum matang secara fisik, sehingga menjadikan Sudan Selatan masuk kategori salah satu negara dengan angka kematian ibu hamil dan melahirkan tertinggi di dunia.

Di negara tersebut, tidak sedikit juga para perempuan yang terpaksa harus putus sekolah dan menikah, bahkan hampir setengah populasi perempuan Sudan Selatan yaitu 52% telah menikah meski masih di bawah usia 18 tahun.

Akibatnya, terjadi kesenjangan persentase angka melek huruf di Sudan Selatan di mana laki-laki 40,26%, sedangkan perempuan hanya 28.86% saja. Degradasi kualitas sumber daya manusia masyarakat Sudan Selatan menjadi problematik tersendiri dalam dunia pendidikan yang mengakar di negara tersebut.

Prevalensi ini menjadi lingkaran setan yang sulit ditumpas, karena menghasilkan beberapa permasalahan. Pertama, jelas adanya ketimpangan dan marginalisasi perempuan dalam mendapatkan haknya baik dalam memilih pasangan maupun yang lainnya. Kedua, pembatasan pendidikan sebagai akibat dari pernikahan dini yang seringkali dipaksakan.

Ketiga, beban ekonomi bagi laki-laki di mana untuk memenuhi tuntutan mahar yang terlalu tinggi, tidak sedikit dari mereka yang berhutang. Keempat, ketidakmampuan membayar hutang tersebut, dapat memicu pencurian dan tindak kriminalitas lainnya.

Kelima, meningkatkan risiko kematian ibu muda. Keenam, melenyapkan hak perempuan untuk meninggalkan rumah tangga yang penuh kekerasan, karena dianggap telah “dibayar lunas”. Terakhir, meningkatkan angka pernikahan di bawah umur karena dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan.

Pemerintah Sudan Selatan yang Apatis Terhadap Problematika Bride Price

Mirisnya, pengabaian terhadap hak asasi perempuan yang berkedok tradisi ini, disebut-sebut sulit dihapuskan karena dikhawatirkan mengganggu adat dan identitas budaya suku lokal. Sebagai upaya penanggulangan kesenjangan tersebut, Pemerintah Sudan Selatan telah melakukan beberapa usaha dalam meningkatkan angka pendidikan, misalnya dengan menambah anggaran pendidikan dari yang semula 6% menjadi 12,5% pada tahun 2023 dan peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan dari yang semula 21% di tahun 2005 menjadi 49% pada 2021.

Meskipun demikian, upaya tersebut masih belum signifikan mengurangi kompleksitas masalah yang terjadi di Sudan Selatan. Yang mana masalahnya tidak terbatas pada masalah pendidikan saja. Sebab jika ditelisik lebih jauh, akar permasalahan ini justru ada pada implementasi norma budaya terutama tradisi Harga Pengantin yang semestinya dilenyapkan. Selain itu, pemerintah juga diduga enggan menghilangkan praktik ini karena ikut mendapatkan keuntungan sistemis.

Berkaca dari kasus pada bulan Oktober 2018 silam, di mana seorang gadis Sudan Selatan dilelang oleh ayahnya di platform Facebook dengan maksud mendapatkan penawaran tertinggi untuk menikahinya. Beberapa pria yang ikut berkompetisi bukanlah orang sembarangan, mereka justru datang dari kalangan pengusaha, tokoh adat, bahkan pejabat tinggi negara.

Hal ini mengindikasikan bahwa, mereka menggunakan tradisi ini sebagai strategi politik dan simbol maskulinitas. Terlihat melalui keberaniannya untuk memberikan mahar 500 ekor sapi, tiga mobil mewah, satu perahu, dua sepeda motor, beberapa smartphone, hingga uang tunai sebesar 10.000 USD atau setara Rp165.800.000. Bahkan lebih jauh, Harga Pengantin ini tidak sekadar dapat “membeli” perempuan saja, melainkan membeli status sosial, kehormatan, dan jaringan politik.

Pernikahan dengan sistem Harga Pengantin di Sudan Selatan bukan sekadar tradisi, tetapi representasi nyata dari penindasan sistemik terhadap perempuan yang disamarkan dalam bingkai budaya. Di balik mahar yang tampak megah, tersembunyi pelanggaran hak asasi, kekerasan, dan masa depan perempuan yang dirampas sejak usia dini. Menghapus praktik ini bukan berarti mengingkari budaya, melainkan membebaskan perempuan dari status sebagai komoditas.

Sudah saatnya negara dan komunitas internasional bergerak lebih tegas tidak hanya dengan regulasi, tetapi juga melalui pendidikan, pemberdayaan, dan perubahan paradigma sosial yang menghargai perempuan sebagai manusia utuh, bukan objek tukar-menukar.

https://nextgen-z.com/bride-price-legitimasi-kekerasan-berkedok-tradisi

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *