Self Diagnosis : Memberi manfaat atau tanda bahaya?

Self Diagnosis : Memberi manfaat atau tanda bahaya?

Pernah tidak kamu merasakan sakit kepala, cemas, atau tiba-tiba merasa sangat sedih, kemudian mencarinya di internet. Mungkin tanpa sadar, kamu sudah melakukaapa yang disebut self-diagnosis, atau mendiagnosis diri sendiri tanpa bantuan ahli medis. Di era digital saat ini, fenomena ini semakin sering kita temui. Akses informasi kesehatan melalui internet yang begitu mudah membuat banyak orang merasa bisa mengetahui kondisi kesehatannya hanya dengan beberapa klik di gadget saja.

Di era serba digital saat ini, segala informasi dapat diperoleh dengan sangat mudah. Setiap manusia yang ber-gadget dapat dengan mudah mencari informasi apa saja yang mereka mau, termasuk informasi mengenai kesehatan. Alih-alih mencari seorang ahli, manusia sekarang justru mencari jalan yang lebih praktis. Dengan hanya bermodalkan informasi dari internet serta afirmasi diri, seseorang dapat berasumsi mengenai penyakit apa yang sedang dialaminya. Fenomena ini biasa disebut self diagnosis.

Dalam perkembangannya, istilah self diagnosis menjamur ketika pandemi covid-19. Seperti yang dijelaskan oleh Imas Maskanah dalam jurnal berjudul Fenomena Self-Diagnosis di Era Pandemi COVID-19 dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental (2022), Selama pandemi COVID-19 fenomena self diagnosis banyak terjadi di Indonesia. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pergeseran pola hidup masyarakat yang dipaksa untuk selalu dekat dengan kehidupan gadget daripada kehidupan sosialnya.

Jika ditilik kembali ada beberapa penyebab yang mengakibatkan self diagnosis menjamur dikalangan kita. Mulai dari banyak informasi yang lalu lalang di internet (minimnya filterisasi), keengganan untuk berkonsultasi kepada ahli, sampai tren kesehatan mental di tengah generasi muda (gen-z). Hal tersebut tentu tidak boleh dinormalisasi dengan begitu saja. Karena self diagnosis dapat mengakibatkan banyak sekali dampak buruk kepada diri sendiri.

Imas menjelaskan bahwa diagnosa diri memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan mental seperti kecemasan berlebih (anxiety), ketakutan terhadap hal yang belum tentu terjadi dan stres. Bayangkan, jika kamu sedang sakit kepala. Lalu, kamu mencari pembenaran lewat internet atau media sosial. Dan ternyata informasi yang kamu dapat sakit kepala itu adalah gejala awal dari penyakit otak serius, bahkan tumor otak.

Nah, selain itu kesalahan dalam mendiagnosis juga memiliki kecenderungan salah dalam pengobatannya. Risiko mengalami kondisi kesehatan yang lebih parah pun bertambah besar bila kamu sembarangan mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan oleh ahli. Bahkan lebih parahnya lagi self diagnosis yang terlampau parah dapat menambah penyakit baru (komplikasi).

Adapun beberapa gejala yang sering kali salah diartikan oleh orang-orang yang melakukan self-diagnosis. Pertama, perubahan suasana hati yang mendadak sering dianggap sebagai tanda gangguan bipolar. Gangguan ini memang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, tetapi diagnosis bipolar tidak bisa dibuat hanya berdasarkan fluktuasi emosi sesaat. Butuh penilaian mendalam dari psikolog atau psikiater untuk benar-benar menentukan seseorang mengalami bipolar.

Kedua, ketika kamu merasa cemas dalam situasi-situasi tertentu, dan langsung menganggap bahwa kamu menderita gangguan kecemasan (anxiety disorder). Padahal, kecemasan adalah respons alami tubuh terhadap situasi yang menegangkan. Bukan berarti setiap rasa cemas adalah tanda dari gangguan kecemasan klinis.

Terakhir, perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat pada aktivitas sehari- hari sering dianggap sebagai tanda depresi. Meskipun gejala ini bisa menjadi bagian dari depresi, tetapi diagnosis depresi memerlukan evaluasi lebih lanjut yang hanya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan mental profesional.

Sementara itu, menurut Ulul Albab Annury dalam salah satu jurnalnya, Dampak Self Diagnose Pada Kondisi Mental Health Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (2022), mengatakan bahwa self diagnosis yang telah menjamur dikalang kita juga mempunyai dampak positif yang dapat kita rasakan saat ini. Antara lain, semakin banyaknya orang yang peduli akan kesehatan mental antar sesama. Entah itu di kemukakan lewat tulisan maupun lewat konten-konten di media sosial. Dari situ kita yang notabene manusia yang malas untuk
keluar rumah dan bertemu dengan ahli, dapat mendapatkan informasi seputar kesehatan dengan mudah dan efisien. Walapun pada akhirnya kita tidak bisa memutuskan/meng-afirmasi informasi tersebut dengan begitu saja.

Langkah paling bijak ketika kita merasa ada yang tidak beres dengan tubuh atau pikiran kita adalah dengan berkonsultasi kepada professional/ahli. Entah itu dokter maupun tenaga kesehatan mental memiliki pengetahuan dan alat yang diperlukan untuk mendiagnosis secara tepat. Dengan berkonsultasi dengan mereka tentu kita akan mendapatkan pemeriksaan yang lebih mendalam dan tepat, baik melalui wawancara klinis, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium, jika diperlukan.

Dengan mendapatkan diagnosis yang akurat dari ahli, kita juga bisa menghindari kesalahan yang mungkin terjadi akibat self diagnosis. Selain itu, para profesional juga bisa memberikan pengobatan atau terapi yang sesuai dengan kondisi kita.

Di akhir pembahasan ini, satu hal yang perlu kita ingat adalah kesehatan adalah salah satu aset paling berharga kita miliki. Jangan sampai kita mengambil risiko dengan mendiagnosis diri sendiri hanya berdasarkan informasi yang kita dapat dari internet. Mengapa tidak sesekali mencoba berkonsultasi langsung dengan ahlinya?. Pilihannya hanya dua, apakah kamu lebih memilih rasa tenang dengan mengetahui kebenaran dari seorang profesional atau tetap merasa khawatir karena berpegang pada informasi yang mungkin saja salah?

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *