Refleksi Hari Buku Nasional

Refleksi Hari Buku Nasional

Pada hari ini tepat tanggal 17 Mei 2025 merupakan diperingati hari buku nasional. Bukan tanpa sebab, tentu ada latar belakang sejarah kenapa harus setiap tanggal 17 Mei yang diperingati hari buku nasional. Berawal dari rendah minatnya membaca buku pada tahun 2002 sehingga membuat Abdul Malik Fajar sebagai menteri pendidikan saat itu mencetuskan tanggal 17 Mei sebagai hari buku nasional. Pemilihan tanggal 17 Mei juga berdasarkan dengan hari berdirinya perpustakaan nasional , yaitu pada 17 Mei 1980.  Hari buku nasional diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pentingnya membaca.

Mengutip dari kompas. Ide hari buku nasional digagas masyarakat pecinta buku. Mereka ingin hari buku nasional dirayakan bak hari valentine. Saat itu Mendiknas Abdul Malik menyadari sepenuhnya keinginan tersebut bukan hal yang mudah diwujudkan. Namun, Abdul Malik sadar membaca memiliki fungsi strategis, salah satunya mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan.

Pada tahun 2025 ini, Hari Buku Nasional sudah diperingati selama 23 tahun. Namun, pertanyaannya adalah siapa yang benar-benar peduli? Ditengah maraknya arus algoritma media sosial hari ini, ditengah masifnya konten-konten receh yang membuat otak kita mengalami stagnasi, serta ditengah ketergantungan dengan teknologi buatan AI yang membuat buku hari ini jarang diminati.

Minat Literasi; Antara Cerdas melalui Layar atau Kertas

Berbicara literasi bukan cuman soal bisa baca tetapi bagaimana kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, dan memaknai pesan secara utuh. Jadi, ditengah masifnya informasi dalam konten di sosial media bukan sebagai alasan untuk menjadi pintar dalam 5 menit karena sekali lagi literasi bukan soal bisa baca.

Pada tahun 2020, Finlandia menjadi negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia dengan diikuti oleh Norwegia. Penelitian ini dilakukan John miller sebagai president central connecticut State University di New Britain. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati test pencapaian literasi atau yang disebut dengan karakteristik perilaku literasi.

Bergeser pada asia, ada Thailand yang menempati posisi 59 dan Indonesia di urutan 60. Hal ini diperkuat dengan data Unesco yang mengatakan minat baca masyarakat Indonesia hanya pada 0,0001 persen yang artinya ada 1 dari seribu orang Indonesia yang rajin membaca. Artinya minat literasi pada negara Indonesia sangatlah rendah dibandingkan negara-negara yang lain.

Ditengah arus perkembangan teknologi yang begitu masif membuat masyarakat Indonesia pun lebih berminat untuk menghabiskan waktunya dengan menonton konten-konten sosial media dibandingkan dengan membaca buku. Hal ini diperkuat dengan data dari We Are dan Hootsuite tahun 2021 yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya dengan mengakses internet selama 8 jam 52 menit. Akses tersebut meningkat 16 menit dibanding pada tahun 2019.

 Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan menonton dan mengakses informasi pada layar kaca lebih efektif ketimbang membaca buku? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan hasil riset penelitian yang dilakukan oleh Virgina Clinton seorang asisten profesor di bidang psikologi pendidikan dari University of North Dakota. Beliau melakukan riset terhadap 29 Publikasi sepanjang periode 2008 hingga 2019.

Hasil riset yang dituangkan dalam artikel yang berjudul ‘’ Reading from Paper Compared to Screens ; A systematic review and metaanlysis. Ia menyimpulkan bahwa membaca pada buku atau media kertas lebih efektif dibandingkan melalui layar. Efektivitas membaca pada kertas terletak pada format media yang memiliki dimesi tata letak. Dimesi tata letak ini mudah dicerna oleh otak manusia. Jadi, ketika orang membaca buku atau koran secara naluriah memperhatikan apakah teks ada dilembar kanan atau kiri buku. Kemudian ketika sudah sampai seperempata atau setengah dari tebal buku yang dibaca, maka orientasi ruang terhadap media cetak memunculkan patokan mental atau imajiner yang dapat membantu memperkuat memori untu mengingat isi bacaan.  

 Sedangkan teks pada layar gawai tidak memiliki dimensi seperti yang terdapat pada buku atau koran. Tak hanya itu, ketika orang membaca teks pada buku atau koran membuat berada  dalam kondisi fokus mencerna teks secara konsisten berbeda  ketika membaca lewat layar kaca yang cenderung tergoda untuk melakukan aktivitas lain pada gawai tersebut.

Buku Mahal

Harga buku yang sering dianggap “mahal” sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utamanya adalah potongan harga yang diberikan kepada toko buku, yang bisa mencapai 40 persen dari harga jual. Sebagai contoh, jika sebuah buku dijual seharga Rp100.000, maka toko buku memperoleh Rp40.000 untuk menutup biaya operasional mereka. Di samping itu, ada pula Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen yang sudah termasuk dalam harga tersebut, kecuali untuk buku pelajaran umum dan kitab suci yang dikecualikan dari PPN.

Bagian selanjutnya adalah jatah penerbit yang mencapai 50 persen. Namun, urusan ini cukup rumit karena rantai produksi buku melibatkan banyak pihak yang semuanya dikenakan PPN, mulai dari perusahaan kayu, pabrik kertas, percetakan, hingga akhirnya sampai ke penerbit dan konsumen. Proses panjang ini memperbesar biaya produksi. Kemudian ada royalti untuk penulis yang hanya sekitar 10 persen dari harga buku. Meski nilainya kecil, royalti ini adalah bentuk penghargaan terhadap karya mereka. Biaya distribusi juga mengambil porsi 10 persen, mengingat banyak buku yang dikirim dari kota-kota besar seperti Jakarta atau Yogyakarta ke berbagai daerah di Indonesia.

Penerbit masih harus menanggung biaya produksi, yang meliputi pembelian kertas, pencetakan, desain sampul, dan lain-lain, yang disebut bisa mencapai 20 persen dari harga buku. Dari semua itu, penerbit hanya memperoleh keuntungan sekitar 5 persen, angka yang relatif kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan mereka untuk promosi, membayar pajak penghasilan (PPH), bahkan menjamu penulis. Untuk menyiasati kondisi ini, penerbit terkadang harus memangkas biaya produksi atau menaikkan harga jual buku, bahkan ada yang mengurangi royalti bagi penulis.

Alternatif Solusi

Rangkaian biaya tersebut seharusnya bisa membantu pembaca memahami mengapa harga buku tampak tinggi. Namun, apakah ada solusi yang bisa ditawarkan? Sayangnya, salah satu pilihan yang banyak diambil adalah membeli buku bajakan.Buku bajakan dijual dengan harga lebih murah karena tidak melalui toko resmi, tidak dikenakan pajak, tidak perlu membayar distribusi, serta menggunakan bahan dan desain seadanya. Namun, membeli buku bajakan sebenarnya bukan solusi, melainkan sumber masalah baru karena merugikan penulis dan penerbit serta mengancam keberlangsungan dunia literasi.

Alternatif yang lebih bijak adalah dengan memanfaatkan perpustakaan umum sebaik mungkin. Walaupun fasilitas dan koleksinya belum merata, perpustakaan tetap merupakan sumber literasi yang legal dan bermanfaat. Pilihan lainnya adalah memanfaatkan perpustakaan digital gratis dan legal, sehingga akses terhadap buku bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja menggunakan perangkat digital.

Namun, upaya dari masyarakat (bottom-up) saja tidak cukup tanpa dukungan dari pemerintah (top-down). Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menghapus PPN untuk semua jenis buku. Meskipun bukan hal mudah, kebijakan ini bisa menjadi bukti komitmen negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi juga perlu berperan, misalnya dengan mewajibkan kepemilikan buku-buku bacaan tertentu dalam kurikulum agar ketersediaan dan penggunaan buku lebih terjamin. Semua pihak tentu sepakat bahwa literasi adalah kunci bagi kualitas sumber daya manusia yang kompetitif secara global. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Australia memiliki budaya baca yang tinggi, meskipun harga buku di sana lebih mahal dibandingkan Indonesia.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *