Kadang orang kurang begitu faham dalam menafsirkan istilah dinasti politik dalam kehidupan sehari-hari. Pada tataran empirik, memang sudah lazim sekali akal sehat tersungkur dibawah pijakan perasaan entah pada kebencian maupun titah kefanatikan. Menurut Lord Acton, guru besar sejarah modern di Cambridge University, Inggris menyatakan “Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Dinasti politik dan korupsi mulai hangat diperbincangkan pada tahun 2014, Dimana ketika kasus Ratu Atut Chosiyah muncul ke publik dalam kasus suap sengketa pemilihan bupati Lebak, Banten di Mahkamah Konstitusi yang berturut-turut kemudian terlibat korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat Kesehatan provinsi Banten 2011-2013 dan juga Gratifikasi proyek alat Kesehatan 2011-2013.
Dampak dinasti politik yang mulai mengakar ini mengorbankan kaderisasi politik dalam tubuh partai sendiri. Seorang bupati atau walikota yang sudah setia berproses dari awal, kalah dengan orang yang baru satu tahun, atau beberapa bulan menjadi anggota partai, semata-mata karena kandidat tersebut memiliki pertalian yang erat dengan elit atau pimpinannya bahkan mengandalkan eksistensi untuk menaikkan simpatisan masyarakat.
Perjalanan Dinasti Politik Tingkat Daerah di Indonesia
Dalam keabsahannya, UU No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dari pasal 7-13 mengatur mengenai kewenangan daerah yang diberikan hak kebebasan dalam mengatur jalannya roda pemerintahan di tingkat daerah yang sebelumnya pada masa orde baru roda pemerintahan daerah dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Hal ini tentu melahirkan raja-raja kecil di daerah karena otonomi memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mandiri, namun dari sana juga nampak persoalan-persoalan otonomi yang kebablasan. Yakni kekuasaan politik yang dijalankan, masih terkait dalam hubungan keluarga yang mana hal ini menimbulkan poltik dinasti di tingkat daerah. Sehingga yang terjadi mindset dari penguasa ialah “ada kesempatan, yang terlalu sayang untuk dilewatkan”.
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak pidana korupsi. Dalam realita kehidupan saat ini, semakin menguatnya dinasti politik di beberapa daerah menyebabkan Masyarakat untuk tidak tertarik dalam turut serta merayakan kontestasi pemilu pilkada di Indonesia, juga mempersempit saluran elit politik yang ingin terlibat dalam pusaran pesta demokrasi di tingkat daerah.
Dinasti Politik Ratu Atut
Pada tahun 2006, pilkada Banten Ratu Atut menyalonkan diri dan berhasil memenangkan pilkada Banten bersama M. Masduki dan menjabat Gubernur Banten 2007-2012. Sejak menjadi orang nomor satu di Banten itulah, satu persatu anggota keluarga besar atut masuk ke dalam pusaran politik praktis. Diawali dengan kemunculan Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, dalam pilkada kabupaten Tangerang yang saat itu mendampingi Jazuli Juwaeni akan tetapi pasangan ini dikalahkan oleh pasangan petahana.
Kemudian pada tahun yang sama, adik tiri Atut yakni Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai calon Wakil Walikota Serang berpasangan dengan Bunyamin yang akhirnya menang. Kurang dari tiga tahun berselang Bunyamin meninggal, kemudian di angkatlah Tubagus menjadi Wali Kota Serang. Saat Pilkada kota Serang 2013, ia kembali mencalonkan diri dan akhirnya menang.
Pada tahun 2010, adik Atut, Ratu Tatu Chasanah terpilih menjadi wakil Bupati Serang periode 2010-2015. Airin yang sebelumnya gagal dalam pilkada Kota Tangerang ingin mencoba peruntungan di Pilakada Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010 dan akhirnya terpilih. Kemudian, ibu tiri Atut, Heryani juga tak kalah ketinggalan. Ia terpilih menjadi wakil Bupati Pandeglang pada Pilkada 2011. Pada tahun yang sama, Atut Kembali mencalonkan diri didampingi oleh Rano Karno sebagai Gubernur Banten dan tepilih sebagai Gubernur Banten untuk kedua kalinya.
Sayap-Sayap Kekuasaan Ratu Atut Mulai Melebar
Tak hanya jabatan di Pemerintahan eksekutif saja, sejumlah jabatan di lembaga legislatif juga dirambah. Pada Pemilu 2009, suami Atut, Hikmat Tomet terpilih sebagai anggota DPR. Kemudian anak pertama mereka, Andika Hazrumy terpilih menjadi Anggota DPD. Adde Rosi Khairunissa, Menantu dari Atut (istri Andika) terpilih menjadi anggota DPRD Kota Serang. Namun setelah perjalanan delapan tahun berkuasa, keluarga Atut mulai tersandung kasus hukum. Wawan di tangkap KPK karena menyuap Ketua MK Akil Mochtar terkait sengketa Kabupaten Lebak, sehari kemudian, Atut dicegah keluar negeri, dan tamatlah perjalanan delapan tahun Ratu Atut di Banten.
Dinasti Politik Di Pusaran Korupsi
Ada beberapa kasus dinasti politik yang masuk dalam pusaran korupsi di Indonesia, antara lain:
- Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten periode 2007-2012 & 2012-2015.
- Atty Suharti Walikota Cimahi periode 2012-2017
- Sri Hartini Bupati Klaten periode 2016-2017
- Yan Anton Ferdiyan Bupati Banyuasin periode 2013-2015
- Syaukani HR/ Rita Widya S Bupati Kutai Kertanegara periode 1999-2004 & 2004- 2006
- Rita Widya Sari Bupati Kutai Kertanegara periode 2010-2015 & 2015-2017
- Fuad Amin Bupati Bangkalan periode 2003-2008 & 2008-2013
- Puput Tantriana Sari Bupati Probolinggo periode 2013-2021
- Dodi Reza Alex Nurdin Bupati Musi Banyuasin periode 2017-2021
- Ismunandar Bupati Kutai Timur periode 2016-2020
Larangan Dinasti Politik
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lazim disebut UU Pilkada 2015) sempat mengatur larangan Politik Dinasti. Pada Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya memberikan penegasan bahwa calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan Petahana.
Adapun yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan Petahana, yaitu Ayah, Ibu, Mertua, Paman, Bibi, Kakak, Adik, Ipar, Anak dan Menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Suami Istri Terjerat Kasus Korupsi
Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, telah banyak kasus dinasti politik yang masuk dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan pasangan suami istri, antara lain:
- Muhammad Nazaruddin – Neneng Sri Wahyuni (Anggota DPR RI Dapil IV Jatim)
- Ade Swara – Nur Latifah (Mantan Bupati Karawang)
- Gatot Pujo Nugroho – Evy Susanti (Mantan Gubernur Sumut)
- Ridwan Mukti – Lily Martiani M (Mantan Gubernur Bengkulu)
- Romi Herton – Masyitoh (Mantan Walikota Palembang)
- Antoni Aljuri – Suzanna Budi A (Mantan Bupati Empat Lawang)
- Atty Suharti – Itoc Tochija (Mantan Walikota Cimahi)
- Mirwan Mahmud – Hendrati (Mantan Bupati Bengkulu Selatan)
- Pahri Azhari – Lucianty (Mantan Bupati Musi Banyuasin)
- Tantriana Dewi – Hasan Aminuddin (Bupati Probolinggo)
- Ismunandar – Encek Ungguria RF (Bupati Kutai Timur)
- Ben Brahim S Bahat dan Ary Egahni (Bupati Kapuas)
Setidaknya ada 2 alasan mengapa pemerintah pada waktu itu menolak politik dinasti sehingga perlu diatur dalam UU, yakni:
- Politik dinasti perlu diatur karena Petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangi pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompok mereka.
- Ada kemauan yang kuat pemerintah untuk memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang.
Namun sayangnya, ketentuan Pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Pilkada 2015 terhadap UUD 1945, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab dinilai melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Harapan Baru Pada PILKADA 2024
Aturan hukum yang melarang dinasti politik memang sudah dibatalkan oleh MK, namun kita berharap ada aturan yang membatasi dinasti politik agar tidak terulang kejadian-kejadian yang telah terjadi di masa lalu.
Berharap dan mendorong partai politik untuk tidak mencalonkan calon kepala daerah yang punya hubungan kekerabatan dengan petahana? Apakah bisa?
Dengan rentetan kasus Dinasti Politik yang terlibat Korupsi, disisi lain UU yang mengatur tentang larangan Dinasti Politik sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka yang bisa kita lakukan adalah mencermati visi dan misi, track record calon kepala daerah dan yang pasti kita harus berani menolak setiap bentuk money politics.
Terakhir, teruntuk kepala daerah yang telah terpilih di pilkada 2024 ini kita senantiasa mengharapkan kebijakan-kebijakan baru yang tidak merugikan bagi kaum pinggiran melainkan hanya menguntungkan kaum kaum kapital.