Kampus saat ini seolah menjadi komoditas, artinya menjadi lahan basah bagi para konten kreator baik pemula maupun yang sudah melanglang buana, bagaimana tidak? Saat ini kampus tidak hanya melahirkan ribuan sarjana setiap tahunnya lebih dari itu kampus juga melahirkan konten kreator yang memiliki segmentasi dalam melihat seluk-beluk kehidupan kampus. Tentu saja seputar fasilitas, tugas, dosen pembimbing, dan skripsi yang tak kunjung usai. Segmentasi ini sangat menarik jika ditarik perbandingan dari kampus ke kampus, gengsi yang mengudara tak jarang membuat banyak orang berlomba-lomba memberi react konten tertentu. Saling senggol kampus pun tidak terhindarkan mulai dari gengsi nama besar kampus, fasilitas antar kampus, harga almamater/UKT yang terlampau mahal, dan juga harga outfit yang digunakan dalam kehidupan perkuliahan.
Walhasil saat ini kampus benar-benar sudah menjadi panggung entertaiment baru, bagi mereka yang sengaja atau tidak sengaja terkenal dan mencari peruntungan melalui produksi konten. Sayangnya iklim intelektual mulai ditinggalkan karena tidak menarik, produk asli dari kampus pun mulai bergeser dari fungsinya, bahkan 8 dari 10 mahasiswa tidak paham tentang apa itu Tri Darma Perguruan Tinggi. Kampus benar-benar kehilangan jati dirinya, manakala banyak issue dan peristiwa ditengah masyarakat namun kampus dengan ribuan kaum terdidik dan mahasiswanya tidak mampu menjadi solusi ditengah kegentingan yang terjadi.

Beberapa peristiwa yang seharunya menanti peran kaum-kaum terdidik dalam menjaga resiliensi demokrasi dinegeri ini terabaikan begitu saja. Maka tidak heran jika tabiat kotor dalam pesta demokrasi bisa melenggang begitu saja tanpa permisi yang pastinya akan berdampak kedepannya. Perkara seperti jelas menjadi tanggung jawab kita semua untuk kemudian merefleksikan diri sebagai kaum terdidik dan kaum yang beruntung disaat ratusan ribu pemuda tidak mampu menikmati jenjang pendidikan diperguruan tinggi. Seharusnya dengan kemudahan akses sekarang ini kita dapat berbagi dan terkoneksi kepada khalayak umum dengan hal yang kita dapatkan, bertular nalar dengan mencerdaskan masyarakat dengan konten-konten yang mendidik.
Bayangkan saja jika banyak dari konten kreator yang kemudian meng-influence banyak orang dengan konten yang serampangan dan semaunya apa yang akan terjadi? Jelas saja ribuan bahkan jutaan orang akan mengikuti dan mencontohnya. Oleh karena itu sangat disayangkan jika kampus hanya diperas sebagai dalam bentuk tontonan yang justru membuat orang kehilangan kemampuan mendasarnya yaitu berfikir, karena kemasan konten yang masif mempertontonkan umpatan dan omelan terhadap tugas dan skripsi, seolah-olah skripsi dan tugas adalah dunia atau fase mengerikan yang harus dilalui oleh para mahasiswa. Agaknya lebih bijak jika para konten kreator juga berperan dalam menghidupkan kembali ruh dan jiwa sebagai mahasiswa, bukan malah bisu ditengah kebisingan kampus. Jika kita tengok kembali dengan segala problemnya apakah kampus telah benar-benar menjadi tempat yang aman untuk semua?
Jika kita lihat catatan dari komnas perempuan pada tahun 2023 tercatat 289.111 kasus pelecehan dan kekerasan berbasi gender, 98,5% ranah personal dan 1,4 % publik, dan negara 0,1%. Dan rata-rata setiap harinya komnas perempuan menerima 16 pengaduan yang masuk. Disisi yang lain kasus bullying juga marak terjadi diranah perguruan tinggi. Ingat! Bahwa langkan preventif bukan saja tanggung jawab institusi pendidikan, melainkan seluruh civitas akademika termasuk kita sebagai mahasiswa.
Tak jarang gaya hidup yang dipertontonkan para konten kreator juga memengaruhi habit dari para penyimaknya. Sehingga mahasiswa sekarang tidak lagi berlomba-lomba untuk berkembang dan berprestasi tapi justru berlomba-lomba untuk mendapat atensi dan validasi. Bak penyakit menular pujian yang diterima dalam kolom komentar menjadi sumbu untuk terus masuk dalam permintaan para penikmat kontenya. Ini menjadi petaka dimana kampus yang seharusnya menjadi garda terdepan dan vokal dalam menjaga nilai dan norma dalam masyarakat justru menjadi sarana yang turut melanggengkan ihwal sesat pikir dan cacat logika.
Dalam menyikapi hal semacam ini sudah sepantasnya mari saling merefleksikan diri sebagai mahasiswa yang konsekuen, tidak memanipulasi kesadaran lewat konten demi agenda pribadi, melainkan melanggengkan cita-cita Tri Darma Perguruan Tinggi, melawan kebisuan dangan ikut mengkampanyekan isu-isu yang menjadi konsen dan keresahan bersama, jadilah bagian yang ikut mewarnai kampus dengan mewujudkan cita-citanya, jangan hanya memerah kampus dengan agenda personal dan acuh akan isu yang ada.
Diakhir tulisan ini penulis berpesan sebagai konten kreator yang menjadi sorotan banyak orang pergunakanlah itu sebaik mungkin suarakanlah kebenaran, bukan justru diam ditengah keadaan, mengutip kata-kata Bung Soesilo Toer “Jika dalam kehidupan bersosial kamu merasa baik-baik saja, coba bercermin dan tanyakan pada dirimu apakah telah mati hatimu”.