NPD, Gangguan yang Diam-Diam Dipelihara oleh Sosial Media.

NPD, Gangguan yang Diam-Diam Dipelihara oleh Sosial Media.

Barangkali kita tidak asing lagi dengan unggahan semacam ini, seseorang membagikan foto wisuda, disertai caption reflektif penuh ucapan syukur. Beberapa minggu kemudian, ia kembali mengunggah foto saat menerima sebuah penghargaan dari kampus. Di waktu berbeda, muncul juga potret dirinya tengah mengisi materi di sebuah acara.

Tentu, tidak ada yang salah dengan berbagi kabar baik. Tapi kita juga perlu jujur di era media sosial, batas antara berbagi dan mencari pengakuan kian kabur. Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup digital. Banyak studi psikologi menunjukkan bahwa pola seperti ini bisa terkait dengan gejala Narcissistic Personality Disorder (NPD) sebuah kondisi di mana seseorang sangat membutuhkan kekaguman dari orang lain, memiliki rasa penting diri yang berlebihan, dan pada saat yang sama, kesulitan membangun empati.

Menariknya, sosial media menjadi ekosistem sempurna bagi gejala NPD untuk tumbuh tanpa disadari. Fitur seperti like, komentar, dan view menciptakan ilusi bahwa eksistensi kita bisa diukur lewat respons orang lain. Kita mulai terbiasa merasa “berarti” jika unggahan mendapat banyak reaksi. Bahkan ada yang mengatur waktu posting agar “prime time” semata-mata demi memastikan pencapaian tak hanya terlihat, tapi dirayakan.

(seorang memandang dirinya melalui kaca) sumber : http://titiknol.id

Tanpa sadar, kita memelihara mekanisme narsistik itu. Kita mulai merasa harus selalu terlihat sibuk, produktif, dan berhasil. Jika tidak ada yang bisa dipamerkan, hidup terasa stagnan. Padahal, dalam kehidupan nyata, tidak setiap hari manusia menuai pencapaian. Tapi di media sosial, seolah-olah semua orang terus berlari.

Di sisi lain, ada juga mereka yang menjadikan ini sebagai bentuk personal branding. Mereka menyadari betul citra apa yang ingin dibangun. Kontennya konsisten, narasinya jernih. Tujuannya bukan semata-mata untuk mendapat pujian, tapi untuk memperluas jejaring, membuka peluang, atau menegaskan identitas profesional. Bedanya jelas, branding berbasis kesadaran, NPD berbasis kebutuhan.

Gejala NPD yang marak di media sosial juga sering tampak dalam bentuk lain, kepekaan berlebih terhadap kritik, merasa terancam ketika orang lain lebih hebat, hingga kecenderungan membandingkan diri secara konstan. Semua itu melelahkan, tapi anehnya, candu.

Fenomena ini juga menjelaskan mengapa banyak orang merasa cemas setelah membuka media sosial. Di tengah gempuran pencapaian orang lain, kita merasa tidak cukup. Tak cukup hebat, merasa belum cukup untuk di kata sukses, dan tak cukup tampak menarik. Padahal yang kita lihat sering kali hanya highlight dari hidup seseorang, bukan keseluruhan ceritanya.

NPD bukan sekadar istilah klinis dalam dunia psikologi maupun kosakata yang bertebaran ketika para ilmuan berdialektika. Hari ini, ia bisa jadi gambaran keseharian kita, saat validasi menjadi kebutuhan, bukan bonus, saat pencapaian terasa hampa jika tak dilihat banyak orang, saat kita merasa ada yang salah jika tidak update apapun selama beberapa hari. Maka, sebelum kita mengunggah lagi entah itu karya, prestasi, atau potret estetik di tempat kerja mungkin ada baiknya bertanya pada diri sendiri

“Apakah saya sedang berbagi, atau sedang menambal kekosongan?”

“Apakah saya butuh orang tahu, atau saya hanya takut dilupakan?”

Karena sejatinya, harga diri tidak dibangun oleh reaksi orang lain. Tentang bagaimana menjalaninya Dan hidup yang sehat tak harus selalu diumumkan.

https://nextgen-z.com/npd-narsistik-personality-disorder-gangguan-psikologi-yang-diam-diam-dipelihara-oleh-sosial-media

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *