Laki-Laki Harus Bercerita, Kalau Tidak Bercerita Nanti Masuk Rumah Sakit Jiwa

Laki-Laki Harus Bercerita, Kalau Tidak Bercerita Nanti Masuk Rumah Sakit Jiwa

Dunia sosial media dihebohkan dengan konten “ laki-laki tidak bercerita”.  Konten ini menjadi trend viral dikalangan para netizen Indonesia. Tren yang dibuat oleh orang Indonesia ini menjadi seolah-olah bahwa laki-laki harus memendam semua apa yang dialaminya.

Bagi saya konten “ laki-laki tidak bercerita” membahayakan bagi tekanan psikis dikarenakan dengan mengikuti standar konten ini membuat seseorang mengalami krisis identitas, seolah-olah mereka mempunyai opsi pilihan untuk dirinya.

Ketika Kelelakian ditunjuk dengan tidak bercerita

Fenomena ini menunjukan bahwa bagaimana dominan norma laki-laki dalam memendam apa yang dialaminya sebagai bentuk citra yang kuat. Seringkali, laki-laki yang menceritakan apa yang dia derita dianggap kurang maskulin.

Di asia, kontrol diri dengan ketenangan dan diam diri seringkali dianggap sebagai bentuk kedewasaan dan maskulinitas. Di Indonesia sendiri dengan budaya patriarki menganggap laki-laki sebagai sosok yang tidak mudah untuk menampilkan kelemahannya termasuk dalam hal perasaan. Bahkan menurut dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dr. Argyo Demartoto, M,Si, dikutip dari kompas mengatakan bahwa budaya patriarki di Indonesia membuat standarisasi maskulinitas laki-laki untuk menjadi sosok dominan kuat dengan tidak mudah menunjukan kelemahannya.

Laki-Laki Harus Bercerita, Kalau tidak Bercerita Nanti Rumah Sakit Jiwa Penuh.

Tidak semua orang laki-laki mempunyai kawan untuk bercerita mungkin bisa dimaklumi. Akan tetapi,  kalau kalian para laki-laki punya kawan untuk dijadikan tempat bercerita, apa salahnya berbagi cerita yang memberatkan pundakmu. Jika laki-laki tidak bercerita adalah karena anggapan maskulin laki-laki untuk menjadi sosok yang kuat mending kita sampingkan. Manusia punya kerentanannya masing-masing, termasuk laki-laki. Ketika laki-laki menahan emosi atau tidak bercerita menimbulkan potensi kerusakan kesehatan mental yang serius. Hal ini diungkapkan oleh Dokter ahli kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ yang dikutip dari kompas, menjelaskan bahwa laki-laki bisa membawa beban mental yang lebih besar jika terus menahan perasaannya. Ketidakterbukaan dalam mengekspresikan perasaan ini dapat berujung pada tindak perilaku kekerasan. Dalam konteks lebih luasnya, ketidakterbukaan ini menimbulkan pada gangguan kesehatan mental yang lebih serius. Bahkan menurut Jiemi hal ini dapat berkontribusi pada tingkat bunuh diri laki-laki.
Fenomena “laki-laki tidak bercerita” membuka ruang diskusi tentang bagaimana maskulinitas dapat diekspresikan dengan berbagai cara, tanpa terbatas pada stereotip kuat atau dominan saja.
Berbagi ceritalah karena berbagi cerita itu menyenangkan. Jangan ikuti standarisasi orang-orang di sosial media yang tak ada habisnya. Hal ini membuat dirimu mengalami krisis identitas.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *