Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas

Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas

Setiap Mei, bangsa ini mengenang tiga momentum penting: Hari Buruh, Hari Pendidikan Nasional, dan Tragedi Reformasi 1998. Namun, di balik seremoni dan nostalgia, realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa cita-cita Indonesia Emas 2045 masih jauh dari kenyataan.

Pada 1 Mei lalu, ribuan buruh kembali turun ke jalan. Tuntutan mereka klasik: upah layak, perlindungan kerja, dan jaminan sosial. Ironisnya, di tengah perayaan euforia Hari Buruh yang dipenuhi panggung hiburan dan doorprize, puluhan ribu buruh justru sedang kehilangan pekerjaan. Data Kementerian Ketenagakerjaan per April 2025 mencatat 24.036 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor tekstil menjadi yang paling terdampak, termasuk pabrik-pabrik besar seperti PT Sritex dan PT Sai Apparel. Persaingan produk impor, krisis pascapandemi, dan lemahnya proteksi negara menjadi penyebab utama.

Jika tenaga kerja sebagai tulang punggung ekonomi justru terpinggirkan, bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 2045?

Kondisi serupa terjadi di sektor pendidikan. Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa ditentukan dari ruang kelas. Namun, disparitas pendidikan makin lebar. Sekolah rusak, kekurangan murid, guru honorer bergaji Rp300 ribu per bulan, dan praktik pungutan liar masih marak. Di wilayah seperti Papua dan Nusa Tenggara, banyak anak menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk belajar. Tayangan seperti Kuali Merah Putih milik Bobon Santoso memperlihatkan kondisi ini secara gamblang—sesuatu yang kerap luput dari sorotan media arus utama.

Alih-alih membenahi akar masalah, pemerintah justru sibuk menggonta-ganti kurikulum dan mendorong digitalisasi tanpa menyelesaikan kesenjangan akses.

Pendidikan dan ketenagakerjaan adalah dua fondasi utama menuju Indonesia Emas. Namun, keduanya tampak rapuh. Lebih dari itu, demokrasi kita pun menghadapi ancaman serius. Reformasi 1998 yang lahir dari darah mahasiswa dan rakyat kini seperti dilupakan. Kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan Marsinah dan Tragedi Trisakti tidak pernah tuntas. Keadilan macet, pelaku dilindungi, dan korban dilupakan.

Kini, kekerasan oleh aparat terhadap demonstran masih terjadi. Revisi Undang-Undang TNI yang baru-baru ini disahkan justru memberi ruang lebih besar bagi militer di ranah sipil. Ini mengingatkan pada praktik dwifungsi yang menjadi momok di masa Orde Baru. Amnesty International Indonesia telah memperingatkan bahwa ekspansi militer ke jabatan sipil bisa menggerus supremasi sipil dan melemahkan demokrasi.

Jika kekuasaan makin otoriter, pekerja tak dilindungi, dan pendidikan dikesampingkan, lalu bagian mana yang sedang kita persiapkan menuju Indonesia Emas?

Visi besar tak akan tercapai dengan fondasi sosial yang keropos. Negara harus segera berbenah. Pertama, lindungi buruh dan pekerja dari PHK massal dengan intervensi pasar dan proteksi terhadap industri dalam negeri. Kedua, benahi sistem pendidikan secara menyeluruh, terutama di daerah tertinggal, dan sejahterakan guru. Ketiga, hentikan impunitas pelanggaran HAM dan cegah kembalinya dominasi militer.

Masa depan tidak ditentukan oleh wacana ambisius, melainkan oleh keberpihakan hari ini terhadap rakyat kecil. Indonesia Emas bukan sekadar slogan; ia harus lahir dari keberanian memperbaiki realitas.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *