Sabtu, 09 November 2024, Indonesia khususnya Jawa Tengah diguncangkan dengan video postingan akun Instagram milik Ahmad Luthfi @ahmadluthfi_official selaku calon gubernur Jawa Tengah periode 2024-2029. pasalnya dalam video tersebut memperlihatkan Prabowo Subianto selaku Presiden RI sekaligus ketua partai pengusung calon gubernur nomor urut 02 secara terang-terangan memberi endorse pasangan 02 dalam kontestasi Pilkada di Jawa Tengah.
“Untuk itu saya butuh dukungan dari provinsi dan dari kabupaten saya percaya bahwa dua tokoh yang tepat untuk Jawa Tengah adalah saudara komisaris jenderal polisi Ahmad Lutfi seorang yang telah bertugas dan mengabdi Jawa Tengah cukup lama dan juga saudara Gus Taj Yasin Maimun yang juga cukup lama mengabdi di Jawa Tengah sebagai Wakil Gubernur.” ucap Prabowo dilansir dari video akun Instagram milik Ahmad Luthfi.
Hal ini menyebabkan banyak sekali stigma-stigma positif maupun negatif dari para netizen. Kata Deddy dalam rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri serta beberapa Pj Gubernur di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2024). Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI-P Deddy Sitorus menyampaikan tindakan yang dilakukan Presiden dengan mempromosikan salah satu paslon Cagub-Cawagub Jawa Tengah akan memperbesar kemungkinan untuk pejabat negara lain akan mengikuti jejaknya dalam mempromosikan calon kepala daerah.
“Dalam sejarah, baru kali ini Presiden yang menjabat turun kelas jadi Juru Kampanye Pasangan calon tertentu. Seluruh Presiden sebelumnya belum pernah ada yang memihak seperti ini dalam pilkada. Miris dan sedih jika sumpah untuk bertindak adil bapak Prabowo tidak bisa lakukan. Anda adalah simbol Negara dan Kepala Negara semua rakyat pak, walaupun anda sebagai Ketua Partai tapi tidak layak bertindak model kayak gini.” tulis akun @arnolresi dalam komentar postingan tersebut.
Namun di sisi lain, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda selaku Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Nasdem Mengatakan bahwa itu adalah hak beliau sebagai ketua umum partai pengusung, selagi tidak menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Presiden RI sah-sah saja bagi beliau toh juga beliau didalam video tersebut tidak menggunakan identitas kepresidenan seperti mobil dinas ataupun pin kepresidenan yang ia kenakan serta tidak ada pula larangan bagi Presiden turut serta menjabat sebagai ketua umum partai politik.
Terdapat dualisme pihak yang memahami kasus ini dengan melontarkan argumen yang sama-sama kuat. Kubu Pro dengan mengatakan boleh-boleh saja dan kubu kontra dengan mengemukakan itu tidak boleh dilakukan dengan respon kekecewaan. Hal inilah yang selalu menjadi warna-warni tersendiri dalam kontestasi Pemilu mulai dari Tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai Negara entah dalam eksekutifnya ataupun dalam legislatifnya. Lantas bagaimana Peraturan Perundangan-undangan secara yuridis apakah membolehkan atau malah melarangnya?
Kontroversi pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan UU No 7 Tahun 2017

Pasal 71 UU No 10 tahun 2016 berbunyi:
“Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau Tindakan yang menguntungkan dan merugikan salah satu pasangan calon”
Selanjutnya dalam Pasal 188 UU No 1 Tahun 2015 memuat konsekuensi dari pelanggaran Pasal 71 UU No 10 Tahun 2016 berbunyi: “Setiap pejabat negara, Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Sementara itu, dalam pasal 188 UU No. 1 Tahun 2015*, ada sanksi pidana bagi yang melanggar: penjara paling singkat satu bulan hingga enam bulan atau denda Rp600.000 sampai Rp6 juta. JPPR juga memberikan catatan khusus perihal perbedaan legalitas hukum antara UU pemilu dengan UU Pilkada dan kaitannya dengan presiden dan wakil presiden dalam kampanye.

Dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Presiden dan Wakil Presiden memang punya hak untuk berkampanye. Syaratnya: tidak memakai fasilitas negara dan memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara. Sedangkan dalam konteks Pilkada, maka payung hukum yang dipakai ialah UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada beserta perubahan-perubahannya yakni UU No. 8 Tahun 2015, UU No. 10 Tahun 2016, dan UU No. 6 Tahun 2020. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu pasal melarang pejabat negara membuat suatu keputusan atau tindakan yang menguntungkan/merugikan salah satu pasangan calon.
Dari kontroversi-kontroversi diatas itulah yang menjadi alat bagi kubu pro maupun kontra untuk menyerang argumen satu sama lain. Harapannya Pemerintah kedepan perlu melakukan evalusi dengan uji materi kedua undang-undang tersebut terutama dalam pasal yang bersangkutan sehingga tidak meninbulkan hal yang sifatnya multitafsir bagi masyarakat Indonesia