Seiring dengan berkembangnya teknologi, kehidupan manusia menjadi lebih fleksibel dan praktis. Salah satu bentuk perkembangan teknologi adalah media sosial. Kini media sosial sangat digemari oleh berbagai kalangan untuk dapat bercengkrama, bersosial dan mengekspresikan kebebasannya dalam ruang yang lebih luas. Media sosial dapat menjangkau akses informasi di seluruh dunia hanya dengan jaringan internet. Kebebasan berekspresi juga menjadi daya tawar yang menarik karena media sosial memberikan ruang luas untuk berekplorasi. Perkembangan teknologi, terkhusus media sosial, membawa banyak dampak positif bagi umat manusia dalam mempermudah akses dan memperluas jaringan.
Namun, disisi lain media sosial juga membawa dampak negatif yang signifikan bagi psikologis manusia. Salah satu fenomena yang sedang “hits” dibicarakan saat ini adalah fenomena Fear of Missing Out atau biasa dikenal dengan istilah FoMO. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Patrick J. McGinnis pada tahun 2004 dalam artikel yang berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two Fos” yang diterbitkan oleh Havard Business School. Menurut McGinnis, FoMO merupakan perasaan cemas yang disebabkan oleh presepsi pada pengalaman orang lain yang lebih baik daripada diri sendiri. Hal ini didasari oleh tekanan sosial yang didapatkan karena perasaan akan ketertinggalan dalam suatu peristiwa atau momen yang sedang populer.
Menurut data dari databoks.katadata.co.id, pengguna aktif media sosial di Indonesia tahun 2024 mencapai 167 juta atau setara dengan 63,4% populasi di Indonesia. Di dominasi usia 18 sampai 34 tahun. Melihat dari data tersebut memang pantas jika media sosial menjadi pendorong utama fenomena FoMO menjadi meningkat saat ini. Apalagi menurut Elizabeth B. Hurlock, yang menggolongkan usia 18-40 tahun sebagai fase dewasa awal, dimana fase dewasa awal merupakan fase transisi manusia untuk melakukan penyesuaian diri terhadap pola hidup dan harapan sosial yang baru. Maka dalam fase ini, manusia di dorong untuk lebih mandiri dan bebas menentukan identitas diri untuk mempersiapkan masa depan.
Eksistensialisme dan Kebebasan Berekspresi
Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang berkembang pada abad 20 di Perancis dan Jerman, muncul atas respon dari peristiwa Perang Dunia II, yang mengantarkan para eksistensialis kembali berpusat untuk merenungkan diri manusia itu sendiri. Aliran ini fokus pada subjek, dimana manusia adalah ketiadaan dan sebagai subjek ia harus sadar akan eksistensinya. Sebuah objek tidak mempunyai makna atau nilai sebelum manusia sebagai subjek memberikannya. Aliran ini mendukung adanya daya kebebasan dalam diri manusia untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri, selagi tidak merugikan orang lain, karena itu akan memberikan penderitaan di masa depan.
Salah satu filsuf eksistensialis yang vokal pada kebebasan manusia adalah Jean Paul Sartre. Sartre merupakan filsuf Perancis (1905-1980). Kebebasan merupakan pondasi penting dalam filsafat sartre. Menurut Jean Paul Sartre dalam buku “Existentialism and Humanism”, manusia adalah manusia itu sendiri dan oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menciptakan makna hidup atau nilai mereka sendiri. Karena bagi para filsuf eksistensialisme, eksistensi lebih dulu ada daripada esensi. Maka, manusia tidak akan menjadi “ada” sebelum ia meng-ada-kan dirinya.
Di Indonesia kebebasan berekspresi telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 28 yang mengatur tentang kebebasan berekspresi di Indonesia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal itu diperkuat dengan adanya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan perlindungan dan jaminan pada kebebasan berpendapat.
Kembali pada konteks fenomena FoMO, sebagai makhluk yang bebas, maka setiap individu berhak untuk memiliki kebebasan mengekspresikan dirinya sendiri untuk menjalani atau mengikuti apa yang ia ingini. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kebebasan manusia jangan sampai merambah pada kebebasan orang lain dan merugikan. Karena segala bentuk kebebasan yang menjadi sebuah pendapat, tindakan dan sebagainya merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri. Dengan kebebasan yang dimiliki manusia, maka ia akan merasa cemas, karena itu alamiah.
Kecemasan Eksistensi
Fenomena FoMO akhir-akhir ini membawa pengaruh negatif pada sisi psikologis manusia, seperti rasa insecure¸ mengurangi produktivitas, dan kecemasan. Pengguna media sosial yang dihadapkan dengan berbagai konten-konten viral, tren kekinian, dan peristiwa dari berbagai penjuru dunia menjadi cemas karena ketakutan yang timbul atas dirinya sendiri. Ketakutan ini, didasari oleh keinginan mereka yang tidak ingin ketinggalan konten-konten viral, tren dan peristiwa penting yang terjadi. Jelas bahwa kecemasan itu terjadi karena standarisasi yang mereka buat sendiri. Media sosial bukan sebagai penyebab utama, tapi hanya sebagai pendorong atas ruang bebas yang diberikan.
Kecemasan menurut Sigmund Freud adalah ekspresi yang muncul dari konflik emosional batin ketika individu menekan pengalaman, dorongan, atau perasaan yang mengancam atau mengganggu. Kecemasan yang dialami oleh orang-orang yang terbawa fenomena FoMO terjadi karena mereka merasa terancam dan terganggu eksistensinya karena tidak mengikuti tren atau peristiwa yang sedang terjadi. Krisis eksistensi mereka alami karena mudah terbawa arus dan tidak mau berpikir secara kritis.
Eksistensi diri manusia tidak didasarkan pada apa yang ada pada diri orang lain atau apa yang orang lain inginkan. Namun, eksistensi diri manusia adalah bagaimana manusia menjadi apa yang dia inginkan dengan segala kebebasan pilihan yang ia punya. Setiap manusia berhak untuk menjadi apa saja dan menginginkan apa saja, yang paling penting adalah manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Oleh karena itu, ketika manusia sudah menentukan pilihana yang ia inginkan, ia tidak boleh mengingkarinya dan tidak bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan.
Manusia Bertanggung jawab atas Dirinya Sendiri
Sebagai makhluk yang meng-ada, manusia diberi keleluasaan atas kebebasannya menentukan keinginannya untuk bereksistensi. Manusia “terlempar” ke dunia ini dengan ketidaktauan dan ketidak-ada-annya, untuk menjadi “ada”. Maka manusia bebas untuk menentukan makna dan nilai pada hidupnya sendiri. Karena manusia bereksistensi untuk dirinya sendiri, maka ia juga harus bertanggung jawab atas eksistensi dan kebebasannya.
Upaya untuk meredam dampak negatif dari adanya fenomena FoMO dapat kita ambil dari salah satu prinsip dalam stoikisme, yakni hanya fokus pada apa yang bisa dikendalikan di dalam diri, bukan pada apa yang ada diluar kehendak diri. Setiap individu pasti memiliki pilihan untuk iya atau tidak mengikuti tren yang sedang ada. Dan ketika individu itu memilih untuk iya, mengikuti tren yang ada, maka secara tidak langsung ia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dari apa yang sudah ia pilih.
Kecemasan bisa diatasi jika, individu sudah mampu mengenali batas kemampuan dirinya sendiri. Dengan mengenali diri sendiri, individu dapat lebih terbuka untuk menerima segala hal yang terjadi diluar kendalinya. Perasaan cemas, insecure, dan takut itu pasti ada dalam diri karena itu alamiah, namun yang pasti adalah setiap individu juga dibekali kemampuan untuk bebas menentukan perasaan apa yang akan mereka alami.