Pada akhir-akhir ini kita dipertontonkan dengan aksi unjuk rasa yang menyebar di beberapa daerah. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa kebijakan pemerintah yang kontroversial, dianggap tidak berpihak pada masyarakat, serta memberikan sikap inkonsistensi dalam visi yang diemban pemerintah sendiri.
Tentu hal ini memicu amarah masyarakat yang berbuntut pada aksi demonstrasi di berbagai daerah. Namun, aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat sangat amat disayangkan apabila mengakibatkan rusaknya fasilitas umum, penjarahan, serta hilangnya nyawa akibat tindakan provokatif oleh oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa dan mengakibatkan suasana yang tidak kondusif. Tentu ancaman provokatif ini menyebabkan stigma negatif dari masyarakat terkait demokrasi jalanan.

Aksi Vandalisme dalam Unjuk Rasa: Fenomena dan Dampaknya
Masyarakat yang khususnya belum memahami urgensi dari aksi unjuk rasa mudah sekali terprovokasi untuk merusak fasilitas umum, melakukan penjarahan, hingga saling adu pukul dengan aparat. Ironisnya, hal tersebut memakan banyak korban, baik dari pihak aparat kepolisian maupun dari pihak demonstran. Aparat kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap demonstran, mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar dibawah umur.
Sebagai contoh sebanyak 65 orang dengan mayoritas adalah pemuda diamankan oleh Polresta Solo akibat perusakan sejumlah fasilitas umum di Solo, 7 orang yang menjadi tersangka perusakan fasilitas umum di DPRD Jateng 6 orang diantaranya adalah tersangka dibawah umur, 143 pelaku perusakan fasilitas umum di Blitar diamankan, 123 pelaku perusakan fasilitas umum diamankan di Mapolres Kediri beberapa diantaranya ialah siswa SMP dan SMA.
Urgensi Edukasi dan Literasi Politik untuk Demonstran
Hal tersebut menjadi bukti bahwa edukasi terkait unjuk rasa sangat penting untuk dilakukan agar segala bentuk vandalisme yang merugikan semua masyarakat dapat dihindari. Terlebih, bagaimana nantinya benih-benih aktivis yang menyuarakan isu-isu pemerintah kian memudar apabila tindakan provokatif terus dilakukan ketika unjuk rasa, hal inilah yang menyebabkan stigma-stigma buruk tentang unjuk rasa yang mulai tertanam pada masyarakat awam. Perspektif masyarakat tentang unjuk rasa yang aman dan kondusif harus serta merta kita jaga, agar negara ini tetap pada koridor yang semestinya; kebijakan yang memihak rakyat, tidak sewenang-wenang dalam bertindak, serta tidak mendiskreditkan masyarakat kecil di hadapan kaum-kaum kapital.
Dinamika yang terjadi akhir-akhir ini menuai respon dari beberapa kalangan, isu-isu penyusup ataupun provokator di tengah massa yang sedang unjuk rasa merupakan sebuah bumerang bagi demonstran. Bagaimana tidak, demonstran yang bergerak atas kemarahan maupun emosi sesaat sangatlah mudah untuk terprovokasi merusak maupun menyerang aparat kepolisian yang mana hal ini tidaklah dibenarkan oleh hukum.
Unjuk Rasa sebagai Gerakan Intelektual: Pentingnya Kajian Akademis
Pada hakikatnya, aksi unjuk rasa hanyalah sebagai bentuk menyuarakan aspirasi beberapa pihak maupun masyarakat untuk menyatakan sikap atas berbagai kebijakan yang dirasa tidak berpihak pada sekelompok masyarakat atau khalayak luas. Idealnya, aksi unjuk rasa juga harus berdasarkan dari beberapa kajian secara akademis agar poin-poin tuntutan yang ingin disampaikan memiliki argumen dan dasar yang kuat. Bukan hanya dengan satu landasan, akan tetapi landasan landasan yang lain juga harus disertakan di dalamnya seperti halnya dalam naskah akademik yang memiliki landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.
Hal ini sangatlah penting karena ketika kita ingin menyatakan sikap terutama dalam menyikapi terkait penolakan suatu rancangan undang-undang karena dalam proses penyusunannya rancangan undang-undang memiliki suatu naskah akademik yang berisi tiga landasan diatas. Adapun urgensi dari kajian akademik sebelum melakukan aksi unjuk rasa ialah untuk membuat kajian tandingan dari naskah akademik yang telah dirumuskan oleh pemerintah terkait, serta jangan sampai ada suatu kebijakan yang didasarkan dengan naskah akademik yang digunakan untuk menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Karena pada dasarnya naskah akademik yang berlandaskan keilmuan bersifat objektif, tinggal kita cermati bahwa suatu kebijakan tersebut mengambil mudharat yang sedikit dan meninggalkan mudharat yang besar atau malah sebaliknya.
Baca Juga: https://nextgen-z.com/dekonstruksi-makna-yang-hilang-dari-sebuah-kemerdekaan/