Dekonstruksi Makna yang Hilang Dari Sebuah Kemerdekaan 

Dekonstruksi Makna yang Hilang Dari Sebuah Kemerdekaan 

Agustus menjadi bulan penuh arti bagi seluruh rakyat Indonesia. Setelah melewati perjalanan panjang melawan penjajahan, di bulan ini para pahlawan memproklamirkan kemerdekaan. Walaupun belum seutuhnya, namun cukup memberikan nafas lega bagi rakyat Indonesia untuk bersuka-cita.

Sudah hampir 80 tahun negara ini merayakan hari kemerdekan. Tepatnya di setiap tanggal 17 Agustus. Setiap tanggal tersebut, masyarakat dan pemerintah disibukkan dengan upacara hari kemerdekaan dan serangkaian acara untuk menyambut momen sakral ini. 

Momen sakral setahun sekali ini akan disambut dengan aneka ragam lomba-lomba, pemasangan bendera merah putih di setiap sudut rumah, menjalankan upacara bendera, dan mengheningkan cipta. Tentu ini merupakan konstruksi sosial yang sudah berjalan bertahun-tahun dan melekat dalam kebiasaan masyarakat.

Namun, timbul pertanyaan yang membuat hati gelisah dan pikiran penasaran, “apakah euforia memperingati hari kemerdekaan selama bertahun-tahun hanya bersifat simbolis seperti ini saja?”. Karena ketika kita mencoba untuk memikirkan kembali sebuah makna kemerdekaan, apakah hari ini kita memang benar-benar sudah merdeka?

Sebelum lebih jauh membicarakan soal kemerdekaan, disini penulis tidak berniat untuk mendiskreditkan peringatan lomba-lomba, pemasangan bendera, upacara bendera, ataupun mengheningkan cipta. Semua itu boleh-boleh saja dilakukan, dan buktinya bertahan menjadi tradisi turun-temurun di negara kita. Namun, disini penulis hanya ingin mengajak untuk kembali merefleksikan makna kemerdekaan itu sendiri. 

MERDEKA ATAU PSEUDOMERDEKA? sumber : https://lpmarena.com/2019/07/16/merdeka-atau-pseudomerdeka/

Merdeka itu apa?

Seperti yang kita tahu bersama bahwa proklamasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta yang juga didampingi para founding father dilakukan guna menegaskan bahwa bangsa ini tidak lagi dibawah penjajahan siapapun. Bahwa kemerdekaan berarti bangsa ini mampu berdiri sendiri tanpa adanya penindasan dan penjahahan, serta negara menjamin hak-hak warga negara.

Lepas dari penjajahan merupakan impian bagi banyak masyarakat. Tentu karena penjajahan memberikan penderitaan dan masa yang suram bagi mereka. Sorak-sorai “Merdeka!” yang lantang diucapkan menjadi simbol bahwa bangsa kita telah bebas. Lewat momen bersejarah ini masyarakat mulai bereuforia untuk berulang kali merayakan. Lantas apakah esensi dari kemerdekaan itu hanya untuk dirayakan?

Bagi Tan Malaka, setelah adanya proklamatir kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum benar-benar merdeka 100%. Bagi seorang Tan Malaka, kemerdekaan yang dicapai hari ini hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Tentu ini menjadi bahan refleksi yang menarik tentang makna sebuah kemerdekaan itu sendiri. 

Merdeka seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Negara yang merdeka harus melibatkan dan menjamin hak-hak seluruh rakyat untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Merdeka berarti bebas dari penindasan dan pengaruh dominasi kaum tertentu. Baik itu ancaman dari luar maupun dari dalam.

Terlalu Sibuk Merayakan

Hari kemerdekaan tahun demi tahun dipandang sebagai ajang euforia lewat lomba-lomba dan upacara bendera sebagai bentuk penghormatan mengenang jasa pahlawan. Perayaan demi perayaan silih berganti. Entah apakah kemerdekaan itu benar-benar mereka dapati.

Masyarakat kita hari ini terlalu sibuk merayakan, bukan lagi merefleksikan. Para pemuda lebih suka saling beradu gengsi tentang siapa yang lebih meriah daripada siapa yang dapat merubah. Apakah kini momen kemerdekaan hanya sebatas konten untuk menunjang like dan komen?

Sebenarnya tidak masalah juga jika merayakan kemerdekaan dengan menjalankan perlombaan. Namun sejauh yang penulis lihat, jenis-jenis perlombaan yang dilakukan cenderung tidak menunjukkan semangat kemerdekaan itu sendiri. Untuk melihat contoh, silahkan lihat di daerah atau di sosial media kalian masing-masing. Apakah memang benar perlombaan yang dilakukan tersebut memuat semangat kemerdekaan atau hanya ditunjukkan untuk momen bersenang-senang.

Tidak salah untuk bersenang-senang di momen kemerdekaan. Tetapi ada hal lain yang lebih penting untuk ditonjolkan dalam setiap momen ini. Tentu pasti kita sudah tau bahwa negara menghadapi berbagai problem kontroversial. Keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan itu hingga hari ini belum dijamah oleh seluruh masyarakat. 

Bahkan pada tahun 2025 ini, hampir hari demi hari masyarakat dikejutkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Yang bukannya bertujuan untuk mensejahterakan, namun cenderung semakin merepotkan. Tentu ini menjadi problem serius yang harus kita lihat dan tuntut bersama. Menuju momen sakral kemerdekaan, masyarakat seharusnya bukan lagi hanya bersenang-senang saja, namun harus bersatu-padu untuk menuntut pemerintah dalam mewujudkan kemerdekaan yang seutuhnya.

Membongkar Ulang Makna yang Hilang

Tradisi perayaan kemerdekaan yang telah turun-temurun dilakukan ini seakan sudah tidak bisa dilepaskan lagi bagi kehidupan masyarakat Indonesia hari ini. Seakan bahwa perayaan lomba-lomba dan upacara bendera merupakan ciri khas peringatan kemerdekaan. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, perayaan ini akan dilakukan dengan cara yang “hampir” sama berulang kali.

Tentu hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Relasi kuasa antara pemerintah dan masyarakat membuat tradisi ini berjalan terus-menerus tanpa adanya evaluasi yang serius. Dalam teori relasi kuasa Michel Foucault, lembaga sosial memiliki peran dan bertanggung jawab atas terciptanya sebuah nilai sebagai klaim kebenaran. Hal ini didasari karena lembaga sosial memiliki kuasa dalam pengetahuan dan wacana, sehingga dapat membuat sebuah “kebenaran” yang akan diadopsi oleh masyarakat luas.

Hal ini tentu akan menjadi bahaya jika masyarakat apatis dan tidak kritis terhadap segala hal yang terjadi. Oleh karena itu, perlu keberanian untuk membongkar ulang makna yang telah tertanam kuat dalam masyarakat. Bukan berarti menghilangkan yang lama, namun memberikan perspektif baru. 

Seperti halnya teori dekonstruksi yang digagas oleh Derrida, dimana dalam memahami teks atau konstruksi sosial perlu untuk memahaminya secara mendalam guna mencoba membangun dan menemukan kembali makna baru dari makna yang sudah melekat. Bukan hanya untuk dibongkar, namun perlu adanya upaya menemukan makna baru. Karena bagi Derrida, dalam sebuah teks atau konstruksi sosial tidak hanya ada satu makna yang tunggal, namun makna tersebut akan terus begerak sesuai dengan tafsir masing-masing subjek.

Oleh karena itu, perlu kiranya untuk membongkar ulang makna tunggal perayaan kemerdekaan yang lekat sekali dengan momen perlombaan dan upacara kemerdekaan. Masyarakat harus sadar bahwa kemerdekaan itu belum 100% dimiliki. Keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan harus terus dituntut dan diperjuangkan kembali. 

Masyarakat harus menemukan makna baru bagi sebuah perayaan kemerdekaan. Tentu akan perlu usaha keras dan kesadaran tinggi untuk mencapai kemerdekaan yang sejati. Akan lebih baik terus berusaha dalam memperjuangkan, daripada harus menderita hari demi hari karena penindasan dan ketidakadilan terus terjadi.

Kemerdekaan bukan hanya sebagai perayaan, namun momen sakral untuk kembali merefleksikan apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh para pahlawan kita terdahulu. Cobalah untuk menepi dan merefleksikan kembali, bongkarlah makna tunggal yang sudah melekat dan susun kembali dengan makna yang kamu sadari. Mungkin dengan langkah ini, momen perayaan akan lebih berarti.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *