Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) menandai era baru dalam pengelolaan aset negara. Dengan modal awal minimal Rp1.000 triliun dan target aset mencapai Rp15.978 triliun, badan ini diharapkan menjadi penggerak utama investasi nasional. Pemerintah menyatakan bahwa Danantara akan berperan layaknya Temasek di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia. Namun, di balik ambisi besar ini, muncul pertanyaan krusial: apakah Danantara akan membawa BUMN ke arah efisiensi, atau justru menciptakan monopoli baru yang memperkuat cengkeraman negara dalam sektor ekonomi?
Danantara dibentuk dengan tujuan konsolidasi tujuh BUMN strategis: PT Pertamina, PT PLN, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Mandiri, PT Telkom Indonesia, dan MIND ID. Dalam model idealnya, konsolidasi ini diharapkan meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan negara. Dengan satu badan yang mengelola investasi, pemerintah dapat lebih mudah mengarahkan modal ke sektor-sektor prioritas seperti energi hijau, industri hilir, dan manufaktur canggih.
Namun, konsep super holding ini memiliki risiko besar. Alih-alih meningkatkan efisiensi, sentralisasi yang berlebihan justru bisa menimbulkan birokrasi berlapis-lapis, memperlambat pengambilan keputusan, dan meningkatkan potensi politisasi kebijakan bisnis. Jika Danantara dikelola secara tidak transparan, maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan kontrol negara yang semakin besar atas perekonomian, dengan konsekuensi yang bisa merugikan persaingan pasar dan iklim usaha.
Salah satu klaim terbesar dari pendirian Danantara adalah kemampuannya menarik investasi asing. Dengan aset besar dan struktur yang solid, Danantara diharapkan bisa menjadi mitra strategis bagi investor global. Model seperti ini terbukti berhasil di beberapa negara, di mana sovereign wealth fund atau holding negara mampu mengelola investasi dengan standar tata kelola tinggi dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi perekonomian.
Namun, ada kekhawatiran bahwa alih-alih menjadi kendaraan investasi yang sehat, Danantara justru menjadi alat bagi negara untuk mendominasi pasar dan menyingkirkan sektor swasta. Dengan modal besar dan dukungan penuh dari pemerintah, Danantara bisa saja menjadi “raksasa” yang mendikte kebijakan ekonomi dan menciptakan persaingan tidak sehat. Jika ini terjadi, maka sektor swasta, khususnya UMKM dan perusahaan lokal, bisa semakin sulit berkembang karena kalah dalam akses terhadap modal dan proyek strategis.
Pemerintah menargetkan bahwa Danantara akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Namun, pertanyaan utamanya adalah: pertumbuhan ini untuk siapa? Jika pengelolaan investasi hanya berfokus pada proyek-proyek besar tanpa memperhatikan keterlibatan pelaku usaha kecil dan menengah, maka efeknya tidak akan merata.
UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, berisiko terpinggirkan jika seluruh alokasi modal tersedot ke proyek-proyek investasi skala besar. Sementara itu, program kredit usaha rakyat dan pendanaan bagi UMKM mungkin tidak menjadi prioritas utama, karena orientasi utama Danantara adalah pada optimalisasi dividen dan pengelolaan aset besar.
Dalam sistem holding seperti ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang sangat krusial. Bagaimana mekanisme pengawasan terhadap keputusan investasi Danantara? Siapa yang akan menentukan proyek mana yang layak didanai? Jika keputusan-keputusan strategis hanya ditentukan oleh segelintir orang tanpa keterlibatan publik dan DPR yang memadai, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat besar.
Selama ini, berbagai kasus di BUMN menunjukkan bahwa manajemen yang buruk dan intervensi politik sering kali menjadi hambatan utama dalam pengelolaan aset negara. Jika Danantara hanya menjadi wadah baru bagi praktik lama, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan pengulangan kesalahan yang sama dalam skala lebih besar.
Danantara adalah eksperimen ekonomi terbesar yang pernah dilakukan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Jika dikelola dengan tata kelola yang baik, transparansi, dan fokus pada kepentingan nasional, badan ini bisa menjadi penggerak utama transformasi ekonomi Indonesia. Namun, jika hanya menjadi alat sentralisasi kekuasaan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, Danantara bisa menjadi bumerang yang memperburuk ketimpangan ekonomi dan memperkuat monopoli negara dalam bisnis.
Keberhasilan atau kegagalan Danantara tidak hanya bergantung pada modal besar yang dikelolanya, tetapi juga pada bagaimana pemerintah menjamin keterbukaan, akuntabilitas, dan keseimbangan antara investasi negara dan dinamika pasar. Jika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka Danantara bisa saja berubah dari harapan menjadi ancaman bagi ekonomi Indonesia.