Serangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024 telah usai. Pemilu tahun 2024 meninggalkan sejarah baru dalam segi kampanye melalui sosial media yang digerakkan oleh buzzer. Sebenarnya, kampanye melalui sosial media sudah dilakukan pada perhelatan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Namun, di tahun 2024 menjadi menarik dikarenakan isu-isu yang diangkat mengenai masing-masing paslon terbilang cukup menguras energi netizen yang memantau-nya. Tapi, di tulisan kali ini tidak berfokus pada pembahasan tersebut.
Media sosial dapat bekerja menggunakan sistem algoritma yang di sesuaikan dengan target audiens. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan pesan dukungan, dan juga cacian kepada lawan politik. Bukan tanpa arti, pesan yang disampaikan memiliki efek domino yang cukup untuk menggiring opini dan memberi narasi related kepda khalayak.
Orang yang bekerja dibalik layar tersebut adalah buzzer. Buzzer adalah individu yang menyebarkan dan menggiring opini, memberi narasi atau informasi tertentu sesuai dengan kepentingan yang ingin disampaikan. Peran buzzer dalam momentum pemilihan sangat menentukan elektabilitas calon. Mengingat dengan kondisi saat ini, media sosial menjadi kebutuhan primer semua orang. Jadi, mudah sekali untuk menyampaikan pesan melalui platform sosial.
Istilah buzzer mulai gencar saat pemilu tahun 2014. Berbarengan dengan pesatnya media sosial, kala itu 2 paslon menjadikan sosial media sebagai alat untuk mempengaruhi pemilih. Orang yang menyebarluaskan pesan dukungan atau ujaran kebencian paslon lain adalah buzzer.
Dalam laporan dari BBC Indonesia pada tahun 2014, buzzer mulai dikenal luas dalam konteks politik sebagai bagian dari “perang media sosial” antara pendukung Jokowi dan Prabowo pada Pemilu Presiden 2014. Para buzzer ini diidentifikasi sebagai pengguna media sosial yang berperan dalam menciptakan tren atau opini tertentu di dunia maya.
Puncaknya, pada pemilu-pemilu berikutnya, fenomena buzzer semakin berkembang dan kini menjadi bagian dari strategi kampanye politik yang lebih terorganisir. Hal ini sangat relevan ketika berbicara mengenai gen-z yang merupakan generasi peralihan zaman media cetak menuju media sosial. Banyak tren-tren sosial media yang muncul berseleweran, lalu dijadikan konten untuk menunjukan identitas paslon maupun bahan untuk menyerang lawan politik.
Peran gen-z dalam memahami sosial media, menjadi kesempatan besar untuk menarik perolehan suara dari generasi ini. Sebagai bagian dari gen-z, perang media sosial saat momentum pemilihan menjadi makan sehari-hari ketika scroll paltform sosial. Seluruh media yang dikendalikan oleh buzzer dialihkan untuk menuju satu pembahasan, kepentingan yang dibawa buzzer dan siapa orang dibelakangnya.
Sudah saatnya sebagai penikmat sosial media, gen-z harus paham posisi, mana yang harus di konsumsi dan mana yang harus di tela’ah terlebih dahulu. Ujaran bijak dalam bermedia sosial, menjadi protect bagi kita sebagai gen-z untuk mencari informasi melalui media sosial.
Peran buzzer memang tidak selamanya selalu disalahkan. Mereka hanya orang yang bekerja pada orang lain, kita harus hargai itu. Tapi, poin pentingnya adalah sebagai konsumen informasi sudah saatnya lebih jeli dalam menelan informasi, agar membentuk kualitas SDM yang lebih bermutu dan tidak mudah terbawa opini tendensius.
Di sisi lain, buzzer tidak hanya berfokus pada dunia politik, tetapi juga digunakan dalam konteks komersial dan kepentingan sosial lainnya. Pada akhirnya, buzzer memiliki tujuan yang sesuai dengan kepentingan yang dia bawa dari orang yang membayarnya. Basis massa yang berjumlah banyak menjadi alat yang mudah untuk memperkenalkan kepentingan yang ingin disampaikan; politik, sosial, masyakarat ataupun isu-isu lainnya.