Miftah Maulana Habiburrahman telah resmi mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus presiden bidang kerukunan agama dan pembinaan sarana keagamaan pada Jum’at (6/12/2024). Pria yang sering disapa dengan Gus Miftah menjadi perbincangan di media sosial karena telah menghina pedagang es teh. Tentu hal ini menjadi pelajaran bahwa gelar “Gus” menjadi tanggung jawab moral untuk memberikan contoh yang baik didepan publik masyarakat.
Mengutip dari pernyataan Gus Kautsar bahwa gelar Gus ini bukanlah sebuah penghormatan untuk dirinya, tetapi sebagai bentuk menghargai jasa-jasa orang tuanya. Kasus Miftah Maulana atau disebut dengan Gus Miftah dianggap telah menghina pedagang es teh. Tak lama kemudian video beliau yang telah merendahkan aktris Yati Pesek kembali viral di media sosial. Sebagai seorang yang mempunyai gelar Gus justru mendapatkan hujatan dari berbagai kalangan masyarakat.
Asal Usul Munculnya Gelar Gus

Mengutip dari buku yang berjudul “ Ijtihad Politik Gusdur: Analisis Wacana Kritis oleh Dr. Munawar Muhammad, dijelaskan bahwa panggilan Gus ini diberikan kepada seseorang atas posisinya dalam sebuah keturunan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa gelar Gus ini diberikan kepada seorang putra laki-laki, cucu laki-laki, ataupun menantu laki-laki dari Jawa Timur. Adapun tujuan dari gelar gus ini diharapkan untuk bisa menjadi penerus Kyai sebagai calon pemimpin potensial yang dapat meneruskan kepemimpinan di pondok pesantrennya.
Gelar Gus ini diberikan teruntuk bagi yang memilik keturunan Kyai ataupun ulama di pesantren. Adapun arti Gus ini adalah mas atau abang yang diberikan kepada seorang anak laki-laki. Oleh karena itu, gelar Gus ini menjadi beban moral dikarenakan harus menjaga nama baik dari orang tuanya.
Asal usul istilah Gus ini muncul berawal dari tradisi keraton jawa yang memili arti Den Bagus atau Raden Bagus. Mengutip dari jurnal ‘Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik Antropologis’ karya Millatuz Zakiyah disampaikan bahwa sapaan untuk anak laki-laki di pesantren dan budaya Jawa memiliki kemiripan. Pada budaya Jawa, anak laki-laki yang merupakan bangsawan muda biasanya dipanggil dengan nama Raden Bagus. Julukan tersebut mirip dengan apa yang digunakan di pesantren yang menyebut putra pemilik pesantren sebagai gus.
Ditekankan juga bahwa gelar “Gus“ ini bukan diberikan kepada sosok dirinya sendiri, tetapi gelar karena dari keturunan Kyai ataupun ulama. Maka dari itu, gelar gus ini diberikan untuk sebagai bentuk penghargaan jasa-jasa dari orang tuanya.
Kritik Terhadap Feodalisme Agama Bernama “ Gus”
Tulisan ini mungkin akan menimbulkan beragam reaksi terutama bagi yang merasa tersentil dengan tulisan ini. Akan tetapi, saya perlu untuk melakukan kritik terhadap sistem feodal yang ada di Indonesia karena menurut saya ada bahaya besar bagi segelintir orang yang menganggap dirinya memiliki derajat lebih tinggi karena garis keturunan.
Saya teringat dengan salah satu ucapan seseorang yang saya anggap guru. Beliau berkata, “ jika suatu istilah gelar berkembang menyimpang dari fungsi asalnya karena disebabkan oleh budaya dan dinamika sosial, hal itu merupakan bukan ajaran Islam itu sendiri”.
Saya menilai bahwa Islam ada karena tidak terlepas untuk menghapus struktrur ketimpangan kelas, menghapus kasta-kasta karena pada dasarnya islam ada untuk memperbaiki kehidupan dengan menghapus kelakuan feodal, tetapi muslim jawa mengembalikan dengan istilah ‘Gus’. Kritik ini saya perlu sampaikan dikarenakan untuk mengingatkan kembali agar tidak melestarikan struktur sosial yang berlawanan dengan prinsip ajaran Islam tentang persamaan derajat manusia dihadapan tuhan.
Islam mendorong egalitarianisme dan menilai seseorang berdasarkan ketakwaannya. Oleh karena itu, saya kira kritik ini penting dilakukan agar tidak menjadi sistem feodalisme yang terselubung dalam agama.
Tidak jarang saya melihat mereka diperlakukan seolah-olah bahwa mereka lebih mulia, lebih suci dan lebih dekat dengan tuhan. Ada semacam aura ekslusivitas yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar , yang membuat orang disekitarnya merasa lebih rendah dan lebih kecil ketimbang mereka. Bahkan, dalam interaksi sehari-hari beberapa mereka membuat yakin bahwa berhak mendapatkan penghormatan khusus tanpa membuktikan dengan nilai moral, akhlak, atau kapasitas pribadi yang baik dan sebenarnya.
Dampak yang terjadi pada masyarakat ialah sangat besar karena tak hanya menciptakan hierarki sosial yang semu, tetapi melahirkan pengkultusan individu. Banyak orang, termasuk keluarga saya memperlakukan mereka seperti hampir dengan penghambaan. Takut berbeda pendapat, takut mengajukan pertanyaan, bahkan cenderung tunduk secara mutlak karena mereka kaum khusus. Padahal dalam Islam diajarkan bahwa satu-satu kemulian adalah ketaqwaan, bukan gelar ataupun bukan garis keturunan. Perilaku ini telah melahirkan feodalisme yang terselubung dan bertentangan dengan ajaran Islam yang egalitarianisme. Hal ini menimbulkan bahwa banyak orang yang terjebak dalam pola pikir feodal dan tidak berani untuk berpikir kritis, dan akhirnya terpecah dengan adanya kesenjangan sosial yang seharusnya tidak ada.