Musik adalah bahasa jiwa. Musik dapat membuat orang bergembira, bersedih, jatuh cinta, bahkan kembali mengenang luka masa lalu yang tak pernah terlupakan. Namun, apabila kita merenungi setiap lagu yang kita dengar, kita dapat menemukan pola-pola menarik seorang musisi dalam mengekspresikan perasaannya. Hampir semua lagu yang diciptakan oleh seorang perempuan cenderung mengekspresikan perasaan cintanya secara internal dan kompleksitas emosionalnya. Sebaliknya, lagu yang diciptakan oleh seorang laki-laki cenderung mengekspresikannya secara eksternal, dengan memuja, mengejar, bahkan meratapi objek yang dicintainya.
Perbedaan di atas bukan tentang bagus dan tidak bagusnya suatu lagu. Melainkan perbedaan tersebut menyoroti bagaimana pengalaman sosial dan emosional membentuk seorang musisi dalam mengekspresikan lagunya. Ketika musik dikatakan sebagai cerminan diri dengan segala konteksnya, maka kita dapat membaca bagaimana gender dapat memengaruhi seseorang itu memaknai perasaan cinta.
Perempuan: Cinta Sebagai Pengalaman Internal
Hampir semua lagu yang diciptakan oleh musisi perempuan lebih menceritakan proses pengalaman internal dirinya. Menurut perempuan, cinta itu hadir sebagai suatu hal yang mereka rasakan secara personal. Lirik-liriknya cenderung variatif, bukan hanya menceritakan tentang kejadian inderawi saja, tetapi mereka juga ingin berbagi rasa dengan membawa kita hanyut dalam rasa yang mereka alami.
Kita dapat menemukannya dalam lagu-lagu Tiara Andini, yang merupakan salah satu penyanyi perempuan Indonesia yang berkontribusi besar dalam pengembangan musik populer di Indonesia. Dalam lagunya yang berjudul “Merasa Indah”, Ia menceritakan tentang rumitnya mencintai seseorang yang tak akan pernah kembali hadir untuk mencintai kembali. Lirik “Pedih ku saat merasa indah, semua hilang dan usai” tidak hanya sekadar puitis, namun juga menyayat hati. Ia tidak sedang berbicara “kamu” yang meninggalkannya, tetapi berbicara mengeni apa yang dirasakan oleh “aku” ketika kamu meninggalkannya.
Sama halnya dalam lagu “Usai” yang liriknya begitu mencerminkan dalamnya perasaan itu dapat menjebak seseorang: “Aku memang kehilangan, kamu yang sangat kucintai”. Ia bukan menekankan pada sosok yang ia cintai, melainkan pada konflik emosional yang sedang dialami oleh sang pencinta.
Lagu-lagu yang diciptakan oleh perempuan tidak membicarakan siapa yang paling sayang dan siapa yang paling menyakiti. Akan tetapi membicarakan tentang apa yang mereka rasakan saat dicintai. Sehingga karya-karya perempuan cenderung lebih terasa personal dengan perasan mereka.

Laki-Laki: Cinta Sebagai Pengalaman Eksternal
Sebaliknya, hampir semua lagu laki-laki cenderung mengekspresikan cinta sebagai sesuatu bentuk yang dapat dilihat secara inderawi. Liriknya sering kali memosisikan “dia” sebagai pusat cerita. Liriknya berbicara tentang: dia cantik, dia datang, dia pergi, dia menyakiti, dia membanggakan. Sehingga terkesan bahwa “aku” sebagai sesosok pemerhati, pengagum, dan pelindung, bukan sebagai sosok yang merasakan dan mengolah perasaan yang ada dalam hatinya.
Lagu-lagu dari Youvie & Nuno seperti “Janji Suci”, “Menjaga Hati”, dan “Tanpa Cinta” yang liriknya menceritakan bagaimana berharganya “dia”, bagaimana sulitnya kehilangan “dia”. Sering kali terdapat pengagungan kepada sesosok “dia”, dan jarang ditemukan lirik bahwa “aku” sedang mengeksplorasi perasaan yang “aku” alami, seperti bagaimana “aku” tumbuh, jatuh, bangkit, dll. Lirik “Engkau pergi, aku takkan pergi, kau menjauh, aku takkan jauh” dari lagu “Menjaga Hati” menyampaikan bahwa cinta menurut laki-laki adalah ketergantungan, bagaimana caranya aku harus mengejar, memiliki, dan menjaga.
Meskipun begitu, yang menarik adalah laki-laki jarang sekali memperlihatkan sisi putus asa dalam mencintai. Laki-laki lebih mengekspresikan cinta dalam bentuk kekuatan berupa keyakinan dan tindakan, bukan hanya sekadar proses batin saja.
Kenapa Bisa Begitu? Peran Budaya dan Gender
Perbedaan tersebut tidak lepas dari kontruksi gender dikehidupan masyarakat. Misalnya perempuan, sejak kecil perempuan sudah dituntut untuk terbiasa mengenali, menerima, serta mengekspresikan apa yang ia rasakan. Sehingga perempuan lebih bisa dalam menceritakan, mendengarkan, bahkan menangis jika diperlukan. Sebaliknya, laki-laki dituntut untuk selalu kuat, logis, serta tidak diperkenankan menangis. Karena itulah laki-laki lebih sering mengekspresikan dirinya lewat tindakan daripada ucapan.
Berdasarkan kontruksi gender tersebut, perempuan ketika menciptakan lagu cenderung membawanya sebagai tempat nyaman untuk katarsis atau refleksi diri. Lagu menjadi tempat aman bagi perempuan dalam mengungkapkan luka, takut, serta harapan yang tidak dapat ia ucapkan secara langsung. Sementara itu, laki-laki lebih memproyeksikan perasaan cinta secara eksternal yang dapat dilihat oleh indera manusia: seperti tindakan, pencapaian, dan pengagungan atas apa yang ia miliki.
Oleh karena itu, perempuan lebih sering menyatakan “aku merasa”, sementara laki-laki lebih sering menyatakan “kamu yang membuatku merasa”.
Tentu Tak Mutlak
Klasifikasi tersebut tentu tidak mutlak. Terdapat musisi laki-laki yang menulis lagu dengan kesan pengalaman cinta personal yang luar biasa, dan sebaliknya, terdapat perempuan yang menulis lagu sebagai pengalaman cinta eksternal.
Sebut saja Tulus, meski ia adalah seorang laki-laki, namun lagunya diekspresikan dengan pengalaman emosional yang lebih personal. Lagu seperti “Hati-Hati di Jalan” dan “Pamit” mencirikan betapa dalamnya perasaannya saat mencintai seseorang. Dalam lirik lagu tersebut, ia menuliskan perasaannya sebagai pengalaman personal, yakni bagaimana ia tumbuh dan kehilangan. Ia menuliskannya tidak seperti kebanyakan musisi laki-laki pada umumnya, yang lebih menekankan pengalaman cinta yang eksternal.
Sebaliknya, Agnez Mo, dalam banyak lagunya seperti “Long As I Get Paid” atau “Overdose”, menggambarkan cinta dengan pendekatan berani dan lebih eksternal yang terkadang penuh kekuatan. Tidak ada kelembutan yang merengek, tapi ada kuasa yang sedang ia perlihatkan.
Ruang abu-abu ini memperlihatkan bahwa pendekatan emosional bukan milik satu gender saja, tapi bisa diolah siapa pun, selama mereka berani jujur pada perasaannya sendiri.
Mendengarkan Lagu: Membuka Kesadaran
Mendengarkan lagu pada akhirnya melatih kita untuk lebih peka dan dapat membuka kesadaran baru tentang bagaimana cinta dipahami oleh penciptanya. Apakah lagu tersebut mengajak kita untuk merenungi perasaan? Atau malah mengajak kita untuk memandang objek cinta dari kejauhan?
Dengan kelembutannya, perempuan mehuliskan tentang luka, harapan, dan rasa. Sedangkan laki-laki dengan keberaniannya, menulis tentang kekaguman, keindahan, atau kehilangan sosok yang ia cintai. Keduanya adalah refleksi bagaimana cara manusia mencintai. Mungkin berbeda, namun saling melengkapi.
Seiring waktu, banyak pergeseran mengenai peran gender tersebut. Banyak laki-laki dizaman sekarang yang mulai menulis lagu dengan lebih jujur dan tentunya emosional, dan perempuan menulisnya dengan kekuatan dan keberdayaan. Tentu hal ini tidak lepas dari bagaimana gender dipahami saat ini. Semua orang berpikiran terbuka, laki-laki tidak selalu kuat, ia kadang kala boleh menangis. Sebaliknya, perempuan bukan dipandang lagi sebagai sesuatu yang lemah, ia juga berhak mendapatkan kekuatan layaknya laki-laki.
Karena sejatinya, cinta dengan variasi sudut pandangnya mengajarkan kita bagaimana cara seseorang untuk dapat saling melengkapi.