Bicara Konservasi: Raja Ampat dan Wajah Asli Kekuasaan

Bicara Konservasi: Raja Ampat dan Wajah Asli Kekuasaan

“Dulu Raja Ampat disebut ‘surga terakhir’. Kini, surga itu pelan-pelan disobek atas nama investasi. Yang menyayat bukan tangan asing, melainkan kebijakan dari rumah sendiri”

Pada 10 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di kawasan Geopark Raja Ampat. Di tengah sorotan publik terhadap maraknya eksploitasi sumber daya alam di kawasan konservasi, langkah ini seolah menjadi sinyal positif: bahwa negara mulai berpihak pada keberlanjutan. Media ramai-ramai menyambutnya sebagai langkah heroik. Tapi euforia itu cepat menguap. Satu nama besar tetap berdiri kokoh di antara izin-izin yang dicabut: PT Gag Nikel.

PT Gag Nikel adalah anak perusahaan dari PT Aneka Tambang (Antam), bagian dari holding tambang milik negara, MIND ID. Perusahaan ini tetap beroperasi di Pulau Gag, yang secara geografis dan administratif merupakan bagian dari Kabupaten Raja Ampat. Yang menjadi ganjalan: Pulau Gag adalah pulau kecil, dan menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seharusnya dilarang untuk pertambangan. Tapi anehnya, tambang ini tetap berjalan tanpa hambatan.

Di sinilah titik kemarahan publik mulai muncul: mengapa pemerintah begitu tegas terhadap perusahaan tambang swasta, tetapi lunak terhadap tambang milik negara sendiri? Menteri Investasi Bahlil Lahadalia buru-buru angkat suara. Ia berdalih, tambang Gag Nikel tidak berada dalam kawasan geopark dan telah memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang disetujui. Ia juga menyebut bahwa kegiatan tambang itu bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat sekitar. Namun, narasi “bermanfaat bagi rakyat” adalah jargon lama yang terlalu sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap proyek-proyek ekstraktif.

Lahan tambang di raja ampat. : SC :https://images.app.goo.gl/9nTsyfWcnydsZ1N19

Klaim itu terdengar manis, tetapi realitas di lapangan berkata sebaliknya. Masyarakat Pulau Gag memang mendapat lapangan kerja dari tambang ini, tetapi dalam jumlah terbatas dan jangka pendek. Sebaliknya, mereka menghadapi risiko jangka panjang yang jauh lebih besar: krisis air bersih akibat pencemaran, hilangnya mata pencaharian nelayan, serta terganggunya keberlangsungan ekosistem laut yang mereka andalkan sejak dahulu kala. Ketika air tercemar dan laut rusak, masyarakat tak hanya kehilangan sumber daya, tetapi juga kehilangan identitas mereka sebagai penjaga laut.

Di sisi lain, pemerintah terus mendorong eksploitasi nikel dengan alasan kebutuhan energi hijau maupun bahan baku baterai kendaraan listrik. Tapi ini paradoks. Bagaimana bisa energi hijau dibangun di atas reruntuhan ekosistem tropis yang justru menjadi penyerap karbon alami paling efektif? Tambang nikel di pulau kecil bukan solusi perubahan iklim ia justru memperparahnya. Peneliti dan aktivis lingkungan menyebut ini sebagai bentuk “greenwashing negara.” Pemerintah mengklaim kebijakan pro-lingkungan, tapi tetap memberi izin pada proyek-proyek yang secara jelas melanggar prinsip konservasi. Bahkan, keberadaan PT Gag Nikel tak hanya melanggar moral ekologis, tapi juga diduga kuat bertentangan dengan hukum. Pasal 35 huruf k UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyatakan bahwa penggunaan pulau kecil untuk kegiatan pertambangan tidak diperbolehkan karena rentan menimbulkan kerusakan permanen.

Fakta ini seakan tak cukup kuat untuk menghentikan operasi tambang. Sebab ada kepentingan yang jauh lebih besar dari sekadar keberlanjutan lingkungan: keuntungan ekonomi negara dan stabilitas pasokan bahan baku strategis. Tapi kalau negara sendiri bisa melanggar hukum demi kepentingannya, bagaimana kita bisa percaya bahwa hukum ditegakkan secara adil?

Dalam pidato kenegaraan pertamanya, Prabowo menekankan pentingnya menjaga kedaulatan sumber daya dan berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan. Namun jika tambang milik negara sendiri terus beroperasi di wilayah konservasi, maka komitmen itu hanya tinggal slogan politik. Tak ada maknanya jika perlindungan lingkungan hanya dijadikan alat pencitraan, bukan landasan kebijakan nyata.

Pemerintah tidak bisa terus berdiri di dua sisi, tidak bisa bicara konservasi sambil menggali tanah yang sama. Tidak bisa mempromosikan pariwisata Raja Ampat di forum internasional, lalu di waktu bersamaan menyetujui tambang di pulau-pulaunya. Dunia sedang menonton. Keputusan yang diambil hari ini bukan hanya akan menentukan nasib Raja Ampat, tapi juga kredibilitas Indonesia di mata global dalam isu lingkungan. Yang lebih menyedihkan, adalah minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait tambang di Raja Ampat. Masyarakat lokal seringkali hanya menjadi objek, bukan subjek.

Mereka tidak diajak bicara, hanya diberi fakta bahwa tambang sudah ada dan mereka harus “beradaptasi.” Padahal, hukum lingkungan yang sehat mensyaratkan keterlibatan masyarakat sebagai pemegang hak utama atas tanah dan laut mereka. Apakah kita akan terus membiarkan negara bersikap ambigu, menjadi regulator sekaligus pelaku eksploitasi? Apakah tambang milik BUMN selalu punya pengecualian hukum karena alasan “kepentingan nasional”? Jika jawabannya ya, maka kita sedang membuka jalan pada bentuk kolonialisme baru kolonialisme atas nama negara sendiri.

Raja Ampat bukan hanya aset Indonesia. Ia adalah warisan dunia. Dan warisan ini sedang berada di ujung tanduk karena keserakahan dan standar ganda kebijakan. Jika kita tidak segera menghentikan tambang di pulau-pulau kecil Raja Ampat termasuk PT Gag Nikel maka kita sedang menyaksikan akhir dari salah satu ekosistem paling penting di planet ini. Dan ketika karang terakhir hancur, air terakhir tercemar, dan nelayan terakhir kehilangan perahunya, barulah kita sadar bahwa uang dari tambang tak bisa menggantikan apa yang telah hilang.

https://nextgen-z.com/bicara-konservasi-raja-ampat-dan-wajah-asli-kekuasaan

Show 1 Comment

1 Comment

  1. Suyanto

    Tulisan ini seperti perahu kecil yang berlayar pelan di tengah birunya laut Raja Ampatyang tenang, tapi menyimpan arus deras kesadaran. Tentang konservasi, tentang wajah asli kekuasaan, dan tentang kita yang sering kali lupa bahwa bumi bukan warisan, tapi titipan.

    Aku suka bagaimana artikel ini tidak sekadar menyuguhkan fakta, tapi menggiring kita menengok ke cermin. Sebab kadang, yang merusak itu bukan mereka yang datang dari jauh, tapi kita sendiri yang terlalu nyaman dengan lupa.

    Indonesia, dengan seluruh surganya yang nyaris tak habis dibaca, tak akan bertahan jika kita terus berpura-pura bahwa konservasi adalah urusan orang lain. Sementara setiap plastik yang kita buang sembarangan, setiap pohon yang ditebang tanpa jeda, dan setiap pantai yang kita injak tanpa hormat, adalah bagian dari kekuasaan kecil yang kita pegang sehari-hari.

    ttdj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *