Mengkritisi Revisi UU TNI

Mengkritisi Revisi UU TNI

Wacana pemerintahan dan Parlemen dalam  merevisi ketentuan Undang-Undang TNI kini menuai kontroversi. Berbagai pihak,  mulai dari unsur akademisi, pakar hukum  hingga aktivis mengkritisi akan wacana revisi UU TNI tersebut. Kritikan dilontarkan bukan tanpa alasan. Sebab, pasal-pasal yang dibahas merupakan pasal yang berpotensi menghilangkan profesionalisme militer dan mengembalikan dwi fungsi abri.   

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia  masuk Prolegnas prioritas tahun 2025 setelah  muncul  Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025  tertanggal 13  Februari 2025.  DPR RI telah menggelar rapat panitia kerja pada tanggal 14 Maret 2025. Rapat panitia kerja yang membahas mengenai Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia berlangsung secara tertutup. Padahal, dalam proses pembentukan  undang-undang oleh DPR dan  pemerintah  harus mencerminkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi masyarakat. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan perundang-undangan harus melibatkan masukan publik baik itu perseorangan maupun kelompok masyarakat.

Pasal Kontroversi  dalam  Revisi UU TNI

 Sejumlah pasal dalam revisi UU TNI berpotensi mengubah tatanana ketatanegaraan dan relasi sipil-militer di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah usulan perubahan pasal mengenai perluasan keterlibatan TNI aktif yang awalnya bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil ditambah menjadi lima intansi. Penambahan lima intansi tersebut terdiri dari  Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kejaksaan Agung.

 Penempatan prajurit aktif pada Kementerian Kelautan dan Perikanan kuranglah tepat dikarenakan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga sipil. Tak hanya itu, bilamana penempatan prajurit aktif pada BNPB dan BNPT dengan dalih untuk memudahkan koordinasi bukan menjadi dasaran yang kuat dikarenakan seharusnya DPR dan Pemerintah menyiapkan regulasi terkait dengan tata kelola hubungan kerja antar lembaga.

 Penempatan prajurit aktif pada kejaksaan agung juga bukanlah hal yang logis.  Secara fundamental, fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara  sedangkan kejaksaan agung sendiri secara fungsi sebagai alat penegak hukum. Bayangkan saja, bilamana nantinya polisi juga ikut-ikutan meminta menempati di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung karena bagian dari integrated criminal justice system. Padahal, dalam hukum pidana kita mengenal dengan istilah deferensiasi fungsional.

 Kembali lagi pada topik pembahasan. Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia akan menambah tugas TNI dalam operasi militer selain perang bertambah dari 14 menjadi 17. Penambahan tersebut terdiri dari  membantu pemerintah dalam penanggulangan ancaman siber, perlindungan dan penyelamatan warga negara Indonesia di luar negeri  dan kepentingan nasional di luar negeri serta pemberantasan narkotika.  Dalam usulan tersebut, pelaksanaan OMSP diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

 Pelaksanaan OMSP yang diatur dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden akan bergantung pada subyektivitas presiden atau pemerintah tanpa keterlibatan DPR sebagai pengawas. Kemudian OMSP yang tidak dibatasi secara tegas dapat berpotensi menimbulkan Dwi Fungsi ABRI. Maka dari itu, perlunya payung hukum setingkat Undang-Undang untuk mengatur mengenai pelaksanaan OMSP TNI.

Militerisme

 Militerisme merupakan suatu paham yang menempatkan institusi militer sebagai kekuatan dominan dalam kehidupan bernegara baik dalam aspek politk, ekonomi maupun sosial. Berbicara militerisme, seringkali kita dihadapkan dengan pemandangan TNI berseragam bertugas mengamankan kegiatan warga hingga penanganan bencana.  Baru- baru ini, kita seringkali melihat keterlibatan militer aktif dalam program pemerintahan, seperti ketahanan pangan dan distribusi program makan bergizi gratis.

Nampaknya, kebijakan-kebijakan diatas masih belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun ada pasti akan menimbulkan kritikan-kritikan yang ada. Dengan adanya pembahasan revisi UU TNI akan memberikan payung hukum terhadap kiprah-kiprah TNI tersebut.

Bilamana revisi UU TNI disahkan oleh DPR RI. Maka, nuansa militer dalam pemerintah Prabowo bakal benar-benar terwujud. Sebab, pemerintahan Prabowo hari ini menggunakan nuansa militerisme. Sebagai contoh saja, pada awal pemerintah Prabowo membuat program retreat di Magelang yang ditujukan kepada Kementerian Kabinet merah putih dan diteruskan terhadap kepala daerah. Hal ini menunjukan vibe militer, apalagi  fasilitator program retreat  dari militer.

Nampaknya, di Indonesia militer harus memiliki multitalenta. Tentara tidak hanya memiliki kemampuan berperang saja akan tetapi harus juga siap bertani, memasak di dapur hingga manajemen publik di birokrasi. Padahal secara fundamental, TNI memiliki fungsi untuk menjaga pertahanan dari ancaman luar.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *