“Tahun baru sambut semangat baru”, slogan semacam ini sering kali kita dengar. Sebuah narasi optimis saat menyambut pergantian tahun. Tentu saja dengan ragam euforia dalam perayaannya, hal demikian menjadi cambuk demi sebuah perubahan yang baik dalam hidup yang akan kita jalani kedepannya. Akumulasi dari keinginan-keinginan untuk lebih baik itu biasanya sering kita abadikan dalam sebuah catatan, recap, dan to do list yang dengan sadar dan insaf kita berkomitmen akan itu.
Biasanya harapan-harapan yang ingin dicapai pasca pergantian tahun disebut dengan resolusi tahun baru. Resolusi adalah sebuah keputusan atau kebulatan tekad yang telah ditetapkan dari banyaknya pilihan untuk kemudian dapat dicapai secara bertahap. Mempunyai target untuk menjadi lebih baik itu bagus sekali bukan?.
Akan tetapi, nyatanya untuk mencapai target yang telah kita idam-idamkan tidaklah mudah. Beberapa teman sejawat saya rutin kiranya membuat to do list resolusi tahun baru, namun beberapa list ternyata tak mampu tercapai bahkan terbengkalai dan tak terjamah. Seperti list untuk bisa menabung, merubah gaya hidup menjadi lebih sehat, sampai harapan untuk segera wisuda walaupun skripsinya mangkrak.
Mengapa hal ini terjadi? Karena kebanyakan orang mengira mengubah sesuatu itu bisa dilakukan dengan cepat, sebagaimana membalikkan telapak tangan. Padahal semua yang dilakukan itu nampak seperti angan-angan saja. Bagaimana mungkin ingin berubah sedangkan berkomitmen atas perubahan saja tidak mau, sedangkan perubahan adalah kesadaran kita, perubahan adalah komitmen dan kedisiplinan, perubahan adalah kehendak yang menghendaki perubahan itu terjadi. Bukan sebatas tulis menulis keinginan.
Maka jangan heran ketika banyak orang yang telah merencanakan resolusi tahun baru untuk dirinya, namun banyak yang merasa gagal dalam mewujudkannya. Menurut (Polivy dan Herman, 2022) dari University of Toronto mengenai risetnya tentang “If at First You Don’t Succeed False Hopes of Self-Change”, menjelaskan setiap tahun orang dewasa selalu membuat resolusi tahunan menjelang pergantian tahun, sebagaian besar tentang perubahan perilaku, capaian karir dan kesehatan.
Menariknya lagi, di tahun berikutnya orang-orang cenderung membuat resolusi yang sama setelah satu tahun hidup dengan resolusi yang mereka susun sebelumnya. Ini jelas, membuktikan bahwa setiap komitmen pada resolusi sebelumnya tidak mampu untuk ditunaikan apalagi hendak memperbarui resolusi, sikap semacam ini jelas memperlihatkan sebuah kegagalan dalam modifikasi diri.
Atau dengan kata lain, belum ada kebutuhan seseorang untuk benar-benar berupaya melakukan resolusi atau perubahan. Bahkan dengan sengaja mereka menunda-nunda untuk mencapainya. Sudah jelas, perkara ini adalah upaya yang gagal dalam mewujudkan rencana masa depan untuk perubahan yang telah mereka susun sendiri.
Survei dari YouGov memperkuat argumen diatas dengan mengemukakan bahwa rata-rata masyarakat di bekas negara persemakmuran Inggris yang membuat resolusi untuk menyambut tahun baru, hanya 29% saja yang berhasil mencapai semua target resolusi yang dibuat. Sisanya, 48% mencapai hanya beberapa dari yang direncanakan, dan 23% sisanya sama sekali tidak ada yang berhasil.
Menariknya, ternyata salah satu faktor yang menyebabkan prevalensi resolusi banyak menemui kegagalan adalah tingkat komitmen yang rendah. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat ketercapaian target resolusi, berdasarkan catatan oleh aplikasi berbasis kebugaran tubuh Strava tahun 2019 yang secara otomatis mencatat aktivitas olahraga penggunanya, sebagian besar dari pengguna telah menyerah, di tanggal 19 Januari 2020. Artinya kebanyakan dari pengguna sudah membuang jauh komitmen dari resolusi sebelum apa yang diharapkannya tercapai.
Faktor yang menyebabkan tingkat komitmen rendah ada beberapa hal seperti range waktu, atau lebih tepatnya adalah kesabaran, ketahanan untuk melewati waktu dinilai dapat mengurangi komitmen, semakin lama waktu yang dibutuhkan semakin berpotensi menurun pula tingkat komitmen pada sebuah resolusi. Alasan lain adalah minimnya apresiasi yang didapat dari setiap tahap yang dilalui, dimana disetiap tahapan memerlukan perjuangan. Maka naluriah sekali jika manusia mengharap adanya reinforcement. Alasan berikutnya adalah lemahnya ketahanan individu dalam menahan diri disituasi yang tidak nyaman atau tidak sesuai harapan demi tercapainya resolusi.
Untuk melihat lebih jeli mengapa resolusi berpeluang gagal daripada berhasil. Pertama orang cenderung sulit dalam usaha mereka untuk melepaskan diri dari perilaku maladaptif. Kedua memahami alasan dibalik kegagalan, bagaimana orang menafsirkan kegagalan, dan bagaimana orang dapat mengumpulkan tekad untuk memulai kembali berdiri tegak diatas kegagalanya. Perkara ini berkaitan dengan bagaimana kegagalan ditafsirkan dan bagaimana orang meyakinkan diri untuk berani mencoba lagi.
False Hope Syndrome
Jika kita lihat banyak orang tampak berperilaku paradoks, dengan bertahan dalam usahanya berubah meskipun berulangkali menemui kegagalan. Resolusi yang diharapkan mampu untuk memodifikasi diri justru memberikan beberapa kegagalan. Perasaan optimisme yang menyertai ditahap awal upaya modifikasi diri memberikan ekspektasi yang tidak realistis mengenai kemudahan, kecepatan, tingkat perubahan terjadi, dan manfaat yang diharapkan dari perubahan dapat membanjiri pengetahuan tentang kegagalan seseorang sebelumnya.
Siklus seseorang mencoba suatu resolusi yang sama walaupun sudah gagal beberapa kali itu dinamakan false hope syndrome (Polivy & Herman, 2002). False Hope Syndrome membentuk gaya hidup atau rutinitas baru yang gagal karena harapan atau resolusi yang tidak realistis membuat peluang untuk terpenuhinya sangat kecil dan nyaris tidak memungkinkan.
Oleh karena itu, penting untuk belajar membedakan antara tujuan perubahan diri yang berpotensi layak dan yang tidak mungkin terjadi. Guna menghindari rasa over percaya diri dan harapan palsu yang akhirnya mengarah pada kegagalan dan kesusahan berikutnya. Keadaan false hope syndrome biasanya terjadi ketika seseorang yang memiliki keinginan tinggi namun untuk usaha mencapai keinginan itu hanya bertahan beberapa saat. Selain itu, orang melebih-lebihkan kemampuan mereka dibanyak domain dan tidak sadar bahwa apa yang mereka bayangkan tidaklah akurat.
Walhasil kadang yang diharapkan tidak seperti apa yang dicita-citakan, karena rendahnya komitmen namun rasa percaya diri yang over untuk memprediksi keberhasilan seperti yang tergambar dalam pikiran tampaknya berkontribusi pada kegagalan. Perubahan diri dengan demikian umumnya lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama daripada yang disadari oleh banyak orang yang mencobanya mulai (Muraven & Baumeister, 2000).
Efek Pada Kesehatan Mental
Kondisi demikian dapat menyebabkan ganggungan pada kesehatan mental. Seorang yang menerima kegagalan pasti memiliki rasa kecewa, sakit dan merasa tidak berguna yang menyebabkan rendahnya penghargaan diri seseorang terhadap dirinya. Menurut (Marquis & Filiatrault, 2000) mengapa kegagalan itu menyakitkan karena kegagalan merangsang situasi yang berhubungan dengan suasana hati beberapa orang mampu mengingat aspek positif dari ingatannya akan keberhasilan, namun kegagalan memfokuskan diri pada elemen negatif.
Ketika seseorang sedang mengalami kegagalan suasana hati terfokus pada aspek negatif sehingga membawa pesan-pesan kesedihan tidak jarang menyebabkan seseorang terpukul secara emosional dengan menangis. Semakin sering seseorang mengalami kegagalan semakin rendah pula self estem namun semua kembali pada kontrol diri, dalam menangani kesedihan dan stress.
Stress yang berkepanjangan menyebabkan produktifitas menurun, individu juga dibuat segan dalam melakukan apapun karena takut akan kegagalan dan merasa tidak berguna (Harmaini & Hidayat, 2012). Begitu juga self compasion dalam kondisi yang tidak stabil berdampak pada kesukaran diri dalam menerima kondisi dirinya pada situasi tertentu. Kenyataannya banyak individu yang tidak mempersiapkan diri untuk gagal.
Oleh karena itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengganggu ketenangan jiwa, agaknya kita cukup realistis dalam menentukan kemampuan dan potensi dalam merancang list resolusi tahun baru. Mulailah dengan mempersiapkan diri seperti : Menentukan skala prioritas, memulai perubahan dari hal-hal kecil, realistis tidak over imajiner, spesifik namun terukur, komitmen dan kesabaran, dan biasakan berfikir positif.
Jika semua telah kita persiapkan sebaik mungkin kita juga akan siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Selalu yakin akan hasil yang di barengi dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen adalah kunci tercapainya keinginan. selalu berfikir positif karena energi positif maupun negatif di dalam pikiran kita, akan menarik energi yang dari luar diri untuk ikut masuk dalam pikiran kita, bahkan kehidupan kita.
Mohammad Hamzah Sidik, Bergiat di Gusdurian Sukoharjo, Jamaah Sanggar Baca Dandhang Gula