Menyambut Tahun Baru Dengan Rasa Iba!

Menyambut Tahun Baru Dengan Rasa Iba!

Saya bukan sedang marah pada siapapun. Apalagi benci dengan intensitas tinggi. Tapi kebijakan ini jelas kelewatan. Menimbulkan protes yang tak henti-henti, penolakan sana-sini, hingga rasa iba muncul dari saya pribadi. Ya! Ini soal kenaikan PPN menjadi 12%.

Belakangan ini pemerintah Republik Indonesia mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, efektif berlaku mulai tanggal 1 Januari 2025.

Sebenarnya latar belakang muncul usulan kenaikan ini sudah berlangsung lama. Tepatnya pada masa pemerintahan Jokowi. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 29 September 2021. Kenaikan ini dilakukan bertahap dari yang semula 10% menjadi 11% di April 2022, sekarang naik lagi satu persen.

Mari kita bedah perlahan. Sebetulnya kenaikan PPN ini terlihat kecil, kalau dilihat dari sekedar angka. Bagaimana tidak, bahkan buzzer di aplikasi X sampai melangitkan tagar #PPNMemperkuatEkonomi. Miris memang. Tapi mau gimana lagi kalau memang orang-orang itu hanya bisa mencari makan dari situ. Tidak ada pekerjaan lain karena minimnya lapangan pekerjaan di tengah membludaknya pencari kerja. Salah siapa? Ya ndak tahu kok tanya saya. #YNKTS

Oke balik lagi ke topik utama. Kenaikan ini jelas menimbulkan dampak buruk, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Dari segi ekonomi contohnya;

1. Terjadi Inflasi kenaikan PPN memicu nilai rupiah semakin terjun bebas. Saat tulisan ini dibuat nilai kurs dollar USD sudah menembus Rp. 16.290. Bahkan menurut Universitas Muhammadiyah Metro, rupiah Indonesia menjadi mata uang terendah ke-enam di dunia. Sungguh tragis!

2. Naiknya Harga Kebutuhan Masyarakat Tidak ada asap kecuali ada api. Begitu kira-kira peribahasa yang sering kita dengar. Jika di analogikan, tentu inflasi akan mengakibatkan harga barang dan jasa terus ikut naik. Saya cuma heran, apa para pejabat ini ga pernah membayangkan bagaimana rumitnya para pedagang kaki lima, khususnya angkringan menyiasati kenaikan PPN di tahun 2022 lalu. Mereka sampai ikut menaikkan harga gorengan dari 500 rupiah menjadi 2000 rupiah dapat 3 gorengan. Di sisi lain akan terjadi kebingungan jika pembeli hanya mengambil dua gorengan. Ya, sama-sama bingung antara pedagang dan pembeli. Apa para pejabat ga mikir sejauh ini ya?

3. Penurunan Daya Beli Masyarakat Menurut Center of Economic and Law Studies (CELIOS) kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk situasi. Apalagi berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada laporan triwulan III 2024 pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91 persen secara tahunan. Artinya menurun -0,48 persen secara triwulan. Gimana mau meningkatkan daya beli masyarakat. Kita saja mau beli barang harganya naik drastis. Mau pakai jasa tarifnya juga ikut naik. Duh serba repot jadi rakyat jelata.

Lalu masih banyak lagi dampak kenaikan tarif PPN dari segi ekonomi. Misalnya pengaruh pada stabilitas ekonomi, pengurangan daya saing, dan pengurangan investasi.

Selain menimbulkan dampak buruk pada sektor ekonomi, tentunya persoalan ini juga berdampak pada sektor sosial. Diantaranya yaitu;

1. Pengaruh Pada Ketenagakerjaan Kenaikan PPN tentu akan mempengaruhi kenaikan biaya produksi. Akibatnya perusahaan bisa jadi memilih jalan alternatif dengan cara mengurangi tenaga kerja. Kebijakan PHK yang diambil perusahaan tentu membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan akan meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.

2. Pengaruh Pada Masyarakat Rentan Masyarakat rentan adalah kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam menikmati kehidupan yang layak. Secara teori yang termasuk dalam kelompok ini adalah para lansia, anak-anak, penyandang disabilitas, minoritas agama, dan korban bencana alam. Mereka adalah kelompok yang rentan terhadap eksploitasi, penelantaran, dan diskriminasi. Tentu dengan naiknya harga barang dan jasa akan memperburuk kualitas hidup masyarakat rentan.

3. Pengaruh Pada Usaha Kecil dan Menengah Bayangkan anda menjadi pelaku usaha kecil yang baru saja merintis. Dibangun atas ide sendiri, modal sendiri, tenaga sendiri, dan jika rugi ditanggung sendiri. Tapi tiba-tiba ketika usaha sudah mulai berjalan, anda harus membayar pajak kepada pemerintah yang tidak ikut andil dalam membangun usahamu. Miris bukan! Selain itu, dengan naiknya pajak tentu akan mempengaruhi pelaku UMKM untuk bersaing. Jangankan berfikir inovatif, bisa bayar pajak saja alhamdulillah. Agaknya saya tidak perlu memberi contoh nyata kasus ini. Pembaca sekalian bisa mencari berita di media lain. Terlampaui banyak jika harus disebutkan satu persatu.

Kembali lagi saya tegaskan, saya bukan sedang marah atau benci pada siapapun. Saya lebih merasa iba kepada sesama. Kepada masyarakat kecil yang hidup di kolong tol Jakarta, kepada petani di pelosok desa, dan kepada nelayan yang lautnya semakin tercemar oleh limbah industri serta kampungya mulai terendam air laut akibat kawasan pesisir pantai yang dirusak oleh para pemodal. Mereka mungkin jarang, bahkan tidak pernah diajak ngobrol atas perumusan kebijakan ini. Tetapi mereka tetap menerima akibatnya.  Di penghujung tahun ini, mari sambut tahun baru dengan rasa iba.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *